Jumat, 14 Oktober 2011

THE RETURN OF ABORIGIN


A.     Awal Mula Kehidupan Suku Aborigin Di Australia
Australia adalah negara terbesar ke-enam di dunia dari segi luasnya, lebih kecil bila dibandingkan dengan Rusia, Kanada, Cina, Amerika Serikat, dan Brasil. Australia adalah benua terkecil di dunia. Manusia menghuni Australia sudah sejak lama sekali. Penghuni asli Australia disebut orang Aborijin.
Dalam bahasa Latin kata ‘aborigine’ mempunyai arti ‘dari awal mula’.Umumnya orang percaya bahwa mereka (aborijin) telah tinggal di Australia setidaknya selama 60.000 tahun. Beberapa bukti ilmiah terbaru menunjukkan bahwa manusia telah menghuni Australia lebih dari 40.000 tahun yang lalu (Hardjono, 1992:6). Tampaknya beberapa orang Aborijin ini datang dari Asia Tenggara selama zaman es. Pada waktu itu permukaan laut lebih rendah daripada sekarang dan celah pemisah antara Australia dan Indonesia lebih sempit.
Tahun 1788 jumlah seluruh orang Aborigin diperkirakan sekitar 750.000 orang. Sekitar tahun 1930-an jumlah penduduk asli menjadi 60.000-an. Dan pada tahun 1990 lalu, diperkirakan naik sekitar 300.00 orang, atau satu persen dari jumlah penduduk Australia seluruhnya.
Pada waktu bangsa Eropa pertama kali menginjakkan kakinya di benua Australia tahun 1788, orang Aborigin masih hidup dalam kebudayaan batu. Peralatan mereka masih terbuat dari batu dan kayu. Mata pencaharian mereka berburu binatang dan mengumpulkan makanan yang tersedia di alam. Penduduk asli Australia hidup berpisah-pisah dalam kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok merupakan satu keluarga dengan seorang ketua kelompok sebagai pemimpin. Mereka hidup berpindah-pindah (nomad), belum mengenal bercocok tanam dan beternak. (Sapto, 1992:18)
Ide dasar konsep kehidupan Aborigin adalah tidak ada pembatasan yang jelas antara manusia dengan alam. Seluruh dunia merupakan kesatuan yang tunggal. Hubungan manusia dengan alam diwujudkan dengan benda yang disebut “totem” (Sapto, 1992:19). Menurut Herbet Spencer, totem merupakan sebuah kebiasaan pada masa lampau dari sekelompok manusia yang menganggap bahwa antara mereka dengan binatang terdapat kesamaan, karena itu mereka menambahkan nama hewan itu di belakang nama mereka sendiri.
Pada masyarakat Aborigin totem seseorang diperoleh dengan cara:
1.      Ketika anak lahir mirip dengan ayahnya maka totemnya akan mengikuti totem ayahnya, dan sebaliknya jika mirip dengan ibunya maka totem mengikuti totem ibunya.
2.      Mimpi, orang tua bisa saja memimpikan tentang totem yang aka dibangun untuk anaknya.
Selain totem, konsep kehidupan bangsa Aborigin juga tertuang dalam seni lukis badan atau yang lebih dikenal dengan nama “Tatoo”. Tatoo dibuat dengan cara menggoreskan badan dengan alat yang biasanya berujung runcing, untuk kemudian ditorehkan arang atau abu.
Masyarakat aborigin pada saat itu mayoritas tidak mengenakan busana, karena mereka lebih menyukai perhiasan untuk menutupi tubuh mereka. Bagi mereka mengenakan asesoris tidak dipandang sebagai hiasan, namun memiliki unsur magis tersendiri.
Pembagian kerja dilakukan secara seksual dan tingkat usia. Kaum pria berburu bersama sedangkan wanita bertugas meramu hasil buruan. Selain itu konsep yang sangat mendasari hidup mereka dalam menghadapi alam tercermin pada kepercayaan bahwa nereka adalah tamu bumi ini. Mereka merasa milik bumi tetapi tidak memiliki bumi. Hal inilah yang kemudian menjadi perbedaan besar antara prinsip hidup para kolonisasi dengan prinsip hidup bangsa Aborigin. Aborigin tidak memerlukan harta dalam bentuk fisik, mereka mencari “skill” yang berhubungan dengan kesenian, pengobatan dan kemampuan pencarian air.
Kematian bagi suku Aborigin merupakan awal untuk menempuh kehidupan baru. Konsep kematian suku Aborigin hampir sama dengan agama Hindu, dimana kematian merupakan pintu reinkarnasi. Reinkarnasi dalam agama Hindu dapat menjelma hewan atau apapun, sesuai dengan amal ibadah yang dilakukan umatnya. Sedangkan dalam kepercayaan suku Aborigin, arwah-arwah tersebut menunggu di batu-batu besar, pohon-pohon besar atau di pinggir-pinggir sungai, dan ketika ada seorang wanita yang mendekati tempat-tempat tersebut dan kemudian merasakan kehidupan dalam perutnya, maka ia percaya bahwa roh tertentu telah masuk ke dalam perutnya.
Pembangunan rumah dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, dimana sebuah rumah dibangun jauh dari rerimbunan, guna memudahkan pencarian rumah tersebut. Selain itu suku Aborigin juga membangun sebuah rumah yang berfungsi untuk menerima tamu atau sebagai tempat pertemuan.
Orang Aborigin secara tradisional mengunakan bahan alami yang tersedia untuk keseniannya. Di seluruh Australia, lukisan tanah dan gua serta lukisan badan dan dekorasi sangat penting dan memakai bermacam-macam cara dan gaya. Tarian dan musik juga penting sekali bagi masyarakat Aborigin sebagai ekspresi kesenian, dan juga dipengaruhi lingkungan alami.
Ada tiga jenis musik dan tarian Aborigin. Yang pertama termasuk upacara-upacara yang suci dan rahasia. Lagu-lagu dan tarian untuk upacara ini tidak untuk hiburan, tetapi untuk tuntunan saja. Jenis musik dan tarian kedua adalah semi-suci, dan ada banyak contoh jenis ini. Biasanya lagu-lagu, musik dan tariannya dibuat untuk upacara menuju dewasa bagi laki-laki muda, pernikahan dan sebagainya. Musiknya dimainkan oleh laki-laki, sementara perempuan menari.
Jenis musik dan tarian ketiga adalah non-suci, yaitu hanya untuk hiburan. Lagu-lagu dan tarian ini bisa dimainkan oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Musik dan tarian jenis ini disebarkan luaskan di antara suku-suku. Kadang-kadang ada suku yang mengunakan bahasa asing untuk memainkan lagu-lagu yang disebarkan padanya! Suatu macam upacara terkenal sejenis ini adalah corroboree  yang sebenarnya semalaman untuk tarian dan musik tradisional. Semua laki-laki (dewasa dan anak) menari selama berjam-jam sementara wanita dan gadis menyanyi



B.     Kehidupan Suku Aborigin Pasca Kedatangan Koloni Inggris
Kapal asing yang tiba di Teluk Botany tersebut bernama “Supply”. Kapal ini mencatat reaksi suku-suku asli yang meneriakkan kata “Walla Walla Wha” sembari mengacung-acungkan tombak, seolah-olah jengkel dengan kedatangan kapal tersebut.
Konon ketika kapal yang dikepalai oleh Kapten Philip melabuh, suku Aborgin yang menetap didaerah Sydney menyambut dengan diwakili dua orang pemuka suku Aborigin yang kemudian menyambut uluran tangan persahabatan kapten Philip. Kedua pemuka itu bernama Bennelong dan Pemulwuy. Tetapi lama-kelamaan kondisi di antara kedua belah pihak memburuk. Hubungan makin memanas dengan terlukanya bawahan Philip yang bernama John Mcintyre. Meskipun pada akhirnya ia mengakui bahwa ialah yang lebih dulu memulai perselisihan sehingga timbul penyerangan.
Suku Aborigin dicap sebagai suku barbar yang liar. Bahkan para antropolog Inggris abad lalu menggunakan kaum Aborigin sebagai bukti bahwa mereka ini merupakan “missing link” dalam teori evolusi Darwin. Jadi manusia Aborigin merupakan jembatan antara manusia kera dengan manusia sekarang. Anggapan ini membuat efek yang sangat dahsyat bagi kelangsungan hidup bangsa Aborigin. Terbukti dengan adanya perburuan legal terhadap bangsa Aborigin. Hal ini dimulai pada saat Joseph Bank yang mendapat kenang-kenangan dari gubernur South Wales berupa kepala Pemulwuy yang telah diawetkan. Dan kenyataannya bukan hanya kepala Pemulwuy yang diawetkan, tetapi juga beribu kepala mansuia Aborigin lainnya yang tersimpan di Museum Anatomi Edinburgh.
Pada tahun 1890 Wakil Presiden Royal Society di  Tasmania, James Barnard, telah menulis: "proses pemusnahan ini adalah satu  prinsip evolusi dan 'yang kuatlah, yang terus hidup' yang telah diterima umum". Oleh karena itu adalah tidak perlu untuk beranggapan bahwa "telah berlaku kecualian yang buruk" di dalam pembunuhan dan pencabulan terhadap orang-orang Aborigin Australia.
Hasil daripada pandangan rasialis, ganas, dan liar yang telah dipupuk oleh
Darwin ini, satu operasi pembunuhan beramai-ramai telah dijalankan untuk  menghapuskan orang-orang Aborigin. Kepala Aborigin telah dipaku di pintu-pintu stasiun oleh "tamu tak diundang" itu. Roti beracun telah diberikan kepada keluarga-keluarga Aborigin. Di kebanyakan kawasan-kawasan Australia, kawasan penempatan Aborigin telah dihapuskan dengan cara yang ganas dalam masa 50 tahun. Kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada orang-orang Aborigin ini tidak hanya terhenti dengan pembunuhan beramai-ramai. Banyak di antara mereka yang dijadikan sebagai hewan-hewan eksperimen. Institut Smithsonia di Washington D.C. telah menyimpan 15.000 jasad orang bangsa ini yang masih utuh. 10.000 orang Abogin Australia telah dihantar dengan kapal laut ke Museum British dengan tujuan untuk memastikan apakah mereka benar-benar adalah "mata rantai yang hilang" (missing link sesuai teori Darwin. Museum-museum ini tidak hanya berminat dengan tulang-tulang mereka, tetapi dalam masa yang sama mereka juga menyimpan otak kepunyaan orang-orang Aborigin ini dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Terdapat juga bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang Aborigin ini juga dibunuh untuk digunakan sebagai spesimen. Fakta di bawah membuktikan keganasan ini:
Memoir sebelum mati dari Korah Wills, yang telah menjadi walikota Bowen, Queensland pada 1866, telah menceritakan bagaimana dia telah membunuh dan memenggal seorang penduduk asli pada tahun 1865 untuk mendapatkan spesimen sains. Edward Ramsay, pegawai kurator Australian Museum di Sydney sejak 20 tahun dari tahun 1874, juga ikut terlibat. Beliau telah menerbitkan sebuah risalah yang memasukkan Aborigin di bawah tajuk "hewan-hewan Australia". Ia juga memberikan panduan tidak hanya bagaimana hendak merompak kubur, tetapi juga bagaimana untuk mencabut peluru daripada daging "spesimen" yang telah dibunuh.
Seorang pendukung teori evolusi dari Jerman, Amalie Dietrich (digelar juga (Angel of Black Death) telah datang ke Australia dan bertanya kepada
pemilik-pemilik stasiun tentang Aborigin untuk dibunuh demi mendapatkan
spesimen, selalunya kulit mereka dijadikan sebagai sarung pelapik dan rangka
untuk majikan museumnya. Walaupun, pernah dihalau sekurang-kurangnya sekali, tetapi dalam masa yang singkat beliau telah kembali bersama spesimennya.
Seorang missionaris di New South Wales adalah saksi atas penyembelihan oleh polisi atas berlusin-lusin orang Aborigin, baik lelaki, perempuan dan anak-anak. Empat puluh lima kepala telah dididihkan dan 10 tengkorak yang sempurna telah dibungkus untuk dikirim ke luar negeri.
Eksperimen ke atas orang-orang Aborigin ini terus berkelanjutan hingga abad ke-20. Di antara metode yang digunakan di dalam eksperimen ini ialah
pemisahan secara paksa anak-anak Aborigin dari keluarga mereka. Cerita baru
oleh Alan Thornhill, yang telah muncul di dalam edisi 28 April 1997 Philadelphia Daily News, telah menceritakan dengan panjang lebar tentang metode ini yang digunakan untuk menentang Aborigin, seperti berikut: bangsa Aborigin yang tinggal di padang pasir barat laut Australia, pernah melumuri kulit anak-anak mereka yang cerah dengan arang, supaya kelompok agen kerajaan tidak akan merampas mereka. "Kumpulan ini akan menangkap kamu apabila mereka menemui kamu", salah seorang anak-anak yang dicuri melaporkan, beberapa tahun kemudian. "Orang-orang kami akan menyembunyikan kami dan mewarnai kami dengan arang". 


C.     Kehidupan Suku Aborigin Masa Pemerintahan Federal Australia
Fakta sejarah mengatakan bahwa perkembangan diamika kependudukan di Australia telah banyak menorehkan ketidakadilan pada masyarakat Aborigin. Selama bertahun-tahun, Aborigin mendapatkan diskriminasi. Selama 12 tahun pertama era kolonial Inggris, masyrakat Aborigin “dipaksa” untuk mengikuti aturan hidup para pendatang (Bennettt Samuel dalam bukunya, Australian Discovery and Colonisation). Pada 1838, 28 orang Aborigin dibantai di Myall Creek.
Setelah 168 tahun kemudian, keadaan itu tidak berubah jauh. Mengutip data Biro Statistik Australia 1994, sekitar 40% pria Aborigin, dan 42% kaum wanitanya, menderita penyakit. Sebagian terbesar menderita penyakit saluran pernapasan. Mereka juga menderita asma, penyakit telinga, problem jantung, dan diabetes. Meski sebagai penduduk asli Australia, nasib masyarakat Aborigin merasa didominasi oleh kaum pendatang. Hal itu diperburuk lagi dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang berada di kondisi cukup jauh dibanding kaum imigran. Selain kesenjangan yang terjadi, kaum aborigin merasa ada diskriminasi sehingga ruang geraknya menjadi sempit di perpolitikan, ekonomi, dan sosial. Hingga kini, kerap kali terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Aborigin. Mereka kini mulai mengerti akan hak-hak manusia. Persamaan hak selalu menjadi isu yang diangkat oleh masyarakat Aborigin ketika pemberontakan. Bentrokan antara masyarakat Aborigin dan aparat keamanan akhir pekan lalu lebih menggambarkan sentimen rasial termasuk api dalam sekam di Australia. Persoalan suku Aborigin masih menjadi isu sensitif. Sentimen rasial yang terkait dengan posisi kaum Aborigin mengandung kerawanan tinggi. Itulah yang terjadi hari Minggu 15 Februari malam. (KOMPAS)
Perlakuan terhadap kaum Aborigin antara tahun 1910 sampai tahun 1970 dianggap melanggar hak asasi manusia, lebih-lebih kalau dilihat dari perspektif sekarang. Saat ini ada sekitar 460.000 orang aborigin, atau dua persen dari 21 juta penduduk Australia. Banyak dari mereka tinggal di pemukiman terpencil dan hidup seperti warga negara miskin, padahal Australia adalah negara maju. Secara tidak langsung itu menunjukkan masih adanya dikotomi antara masyarakat asli dan kulit putih. Rasisme masih ada di Australia hingga sekarang. Walau kini dengan faktor “pengetahuan” masyarakat Aborigin yang meningkat dan kesadaran masyarakat kulit puith, tindak-tindak rasisme tersebut telah terminimalisir. Upaya pemerintah juga perlu dilibatkan dalam menciptakan interaksi masyarakat yang harmonis antara kedua kelompok masyarakat ini.
Pada tahun 1991 dibentuk Dewan Rekonsiliasi yang merupakan lembaga untuk merintis uapay rekonsiliasi antara masyarakat Aborigin dan kaum pendatang . Adapun tujuan Rekonsiliasi adalah persatuan negara Australia yang menghormati tanah air kita; menghargaiwarisan suku Aborigin dan Torres Strait Islander; dan memberi keadilan serta persamaan hak pada semua orang.
Pada tahun 1966 Parlemen Australia membuat pernyataan komitmen tentang persamaan hak bagi semua orang Australia. Ini termasuk komitmen dalam proses rekonsiliasi dengan suku Aborigin dan Torres Strait Islander – khususnya dalam mengatasi kerugian sosial dan ekonomi mereka. Pada bulan November 2000 pemerintah Australia dan semua pemerintah State dan Territory membuat komitmen untuk meneruskan dukungan mereka pada proses Rekonsiliasi dengan memperkecil kerugian yang dihadapi oleh suku pribumi Australia. Kini upaya itu telah sampai pada permintaan maaf pemerintah Australia yang diproklamirkan februari silam.

D.    Kehidupan Suku Aborgin Saat Ini
Rabu 13 Februari 2008, PM Australia Kevin Rudd membuat gebrakan luar biasa sebagaimana dilaporkan seluruh media besar dunia, termasuk Jawa Pos. Sesuai dengan janji kampanyenya, Rudd resmi meminta maaf kepada masyarakat Aborigin atas kesalahan pemerintah berupa ketidakadilan historis dan perampasan generasi selama abad ke-20.
Tentu saja permintaan maaf itu melegakan segenap masyarakat Aborigin. Matilda House, tokoh sekaligus sesepuh Aborigin, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya: "Ini adalah keistimewaan dan penghormatan besar. Saya pikir ini adalah hal yang amat baik." Sebab, sikap rasis orang kulit putih di Australia, yang didukung kebijakan pemerintah yang amat rasis dan diskriminatif, telah menyebabkan luka yang amat mendalam bagi warga Aborigin.
Bayangkan saja, dalam banyak hal, orang Aborigin dinilai selevel dengan hewan. Mari membuka beberapa fakta mengerikan di masa silam. Edward Ramsay, kepala Museum Australia di Sydney sejak 1874, menerbitkan buku saku yang mengategorikan kaum Aborigin sebagai salah satu binatang di Australia.
Kebijakan pemerintah Australia pun menyamakan mereka dengan hewan seperti tampak dalam Flora and Fauna Act. Pada saat Negara Persemakmuran Australia berdiri pada 1 Januari 1901, warga Aborigin juga tidak punya hak hukum karena dianggap sebagai bagian dari fauna.
Yang tak bisa dilupakan kaum Aborigin, pemerintah Australia juga menerapkan National Welfare Act atau UU Kesejahteraan Nasional yang memisahkan anak Aborigin dari orang tuanya. Pada 1997 juga ada penelitian yang membuktikan lebih dari 100 ribu anak dan keluarga yang dipisahkan menderita trauma. Konyolnya, Perdana Menteri Australia John Howard ketika itu menolak meminta maaf.
Yang kejam dari UU Kesejahteraan Nasional itu ialah banyak warga Aborigin tidak mewarisi tradisi dan budaya leluhurnya. Mereka kehilangan identitas budaya. Sekitar 200 hingga 300 bahasa kaum Aborigin punah, kini tinggal sekitar 70 bahasa saja. Terkait UU itu, boleh jadi, sudah banyak yang tahu kisah Alan Thornhill (Philadelphia Daily News, 28 April 1997).
Lerry, begitu ia menyebut dirinya. Ia bersekolah di Labilla Primary School, Darwin. Ia mengaku merasa kenal dengan Indonesia, karena mendapat pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Karena itu, ia sedikit memahami beberapa kata dalam bahasa Indonesia, seperti “selamat pagi, bagus, dan terima kasih.”
Bersama sang Ibunda, Linda White, ia menempati penampungan kaum Aborigin Bargot Community, di Darwin, Northern Territory. Linda yang beranak dua orang, menempati sebuah rumah berukuran sedang dengan beberapa penghuni lain. Menurut dia, satu rumah, konon bisa dihuni berimpitan antara 10 hingga 30 orang.
Rumah yang dihuni jauh dari kesan bersih. Kumuh, kotor, bau, dan berlalat. Tak tampak ada perabotan rumah, seperti kursi tamu, atau perabotan lain. Rata-rata mereka duduk di tanah atau lantai rumah yang kusam dan bau.
Linda mengaku tidak bekerja. Ia menggantungkan hidup dengan mengandalkan bantuan pemerintah yang ia terima sebanyak 200 dollar Australia per dua minggu. "Ya, kita cukup-cukupkan," katanya dalam bahasa Inggris yang cukup lancar. Menurut dia, Bargot Community beranggotakan sekitar 800 orang yang keluar-masuk.
Sementara Eouglast Rankin (47) memilih duduk-duduk di sebelahnya. Di usianya yang baru menginjak 47, rambut keritingnya telah memutih. Meski tanpa menjelaskan secara gamblang, ia mengaku pensiunan.
Sepertinya, Rankin dan banyak Aborigin lain tak punya pilihan lain. Harus menerima nasib tinggal di penampungan yang berpagar besi. Hal senada dialami William Elthouse (41). Lelaki Aborigin yang berkulit lebih terang. "Apa lagi yang bisa saya kerjakan. Dulu saya sering di laut, tetapi sekarang ini susah," kisahnya. Seperti halnya Rankin, Elthouse pun harus tinggal di penampungan yang berpagar besi dan mengandalkan "gaji" pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum, biasanya jatah dari pemerintah per minggu itu habis untuk minuman. Dan di sudut lain, seorang remaja Aborigin menangis kesakitan. Dan tak lama kemudian muncul Ambulance pemerintah yang mengambil dan membawanya ke rumah sakit. Konon dengan perawatan gratis.
MEMANG Pemerintah Australia tidak tinggal diam. Setidaknya mereka menyediakan fasilitas standar, seperti rumah yang layak huni, karena minimal tidak bocor, area penampungan, dan juga fasilitas pendidikan. Bahkan mereka juga menyediakan fasilitas kesehatan.
Namun persoalannya, perlakuan pemerintah itu belum menyentuh ke akar permasalahan, yaitu kebutuhan utama kaum Aborigin. Kebutuhan untuk diakui, disejajarkan, dan dimanusiakan seperti pada umumnya manusia. Yang terjadi, pemerintah masih menyediakan sebatas bangunan. Belum menyentuh ke hati dan jiwa rakyat Aborigin. Misalnya, mereka mendirikan bangunan sekolah. Namun, tanpa diimbangi dengan pemahaman seberapa besar pentingnya sekolah. Juga mereka menyediakan peluang dan kesempatan kerja yang sama bagi kulit putih dan Aborigin. Namun, dengan persyaratan yang lebih tinggi untuk kaum Aborigin sehingga suku itu tak mampu memenuhi kriteria yang dibutuhkan.
Bila dilihat dari sejarah yang ada, suku Aborigin menempatkan kayu sebagai bahan utama menyambung kehidupan. Namun, pada praktiknya, penampungan Aborigin hanya berupa area dengan rumah yang dilingkari dengan pagar besi. Akibatnya kehidupan pun jauh dari budaya dan seni Aborigin yang begitu terkenal. Setidaknya di penampungan Bargot dan Minmarama Community tak satu pun tampak seorang Aborigin yang sedang melukis atau memahat.
Kenyataan lain, ornamen-ornamen tradisional khas Aborigin yang banyak menghiasi pasar-pasar di Darwin bukanlah karya asli mereka. Nama Aborigin tinggal menjadi hiasan, daya tarik, dan daya jual pariwisata.
"Pemerintah konservatif tidak memahami apa yang sebenarnya diperlukan oleh dan untuk rakyat Aborigin. Terutama dalam mengantisipasi kemungkinan warga Aborigin menjadi warga negara Australia, atau menjadi bagian dari komunitas ini," kata John Ah Kit, anggota legislatif Northern Territory.
Menurut politisi Aborigin itu, rakyat aborigin merasa, politisi konservatif terus memberikan kebijakan yang sengaja diformulasikan untuk melawan mereka. "Mereka lebih tidak bergabung dan tidak mendukung partai politik yang mempunyai kebijakan lebih menguntungkan aspirasi rakyat Aborigin," katanya.
Keberanian Kevin Rudd meminta maaf kepada kaum Aborigin telah menorehkan sejarah bagi Australia dan kemanusiaan. Bagi Australia, diharapkan akan tercipta rekonsiliasi antara warga kulit putih dan kaum Aborigin. Rekonsiliasi itu dimulai dengan keberanian pemerintah mengakui kesalahan.
Tapi, meminta maaf saja tidak cukup. Hak-hak hukum dan budaya warga Aborigin harus dijamin dan dilindungi agar ke depan mereka sungguh diperlakukan sebagai manusia, bukan hewan lagi.
Sedangkan bagi kemanusiaan, permintaan maaf  Rudd sungguh sangat berarti. Apa yang dilakukan Kevin Rudd membawa pesan moral kepada segenap pemerintah yang pernah melakukan kekejaman kepada warganya sendiri di masa lalu. Australia lebih maju satu tingkat daripada bangsa-bangsa lain yang mungkin lebih suka menyembunyikan kekejaman terhadap salah satu warganya. Berbagai cara mungkin dipakai untuk menutupi, tapi jangan lupa, ribuan korban HAM di tanah air jelas tak bisa dibungkam. Jadi, dibutuhkan pemerintahan yang berani di negeri kita. Langkah Rudd layak dijadikan inspirasi bagi pemerintah mana pun di dunia untuk menyongsong masa depannya tanpa digelayuti beban sejarah di masa silam.





DAFTAR PUSTAKA


Danita. 2008. Nasib Suku Aborigin, (http://www.danitadelimon.com, diakses 3 Maret 2009).

Hardjono, Ratih. 1992. Suku Putihnya Asia Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Joseph, Mike. 2008. The Aborigin, (http://www.darwinismsocialweapon.com, diakses 3 Maret 2009).

Sapto, Ari. 1992. Penduduk Asli Australia (Asal Usul, Kebudayaan dan Perkembangan). Malang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.

Rahmanto, Teguh. 2008. Ketika Rudd Merangkul Aborigin, (http://www.inilah.com, diakses  18 April 2009).

Ridwan, Zul. 2005. Permintaan Maaf Kevin Rudd, (http://www.antara.co.id, diakses 3 Maret 2009).

Siboro, J. 1989. Sejarah Australia. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar