Selasa, 18 Oktober 2011

Politik ekonomi VOC


Objek ekonomi di Jawa

Tujuan dari Voc telah jelas sejak berdirinya tahun 1602 di republic Belanda, yakni mendapatkan barang-barang dari Asia yang bisa dijual dengan laba yang pantas di pasar Eropa. Hal ini telah diatur oleh pemerintah Belanda dengan menjadikan voc sebagai perusahaan dagang dengan hak-hak khusus dalam kegiatannya terkait aturan dagang di Eropa.Bagaimanapun, akibat mahalnya biaya perjalanan lintas benua Eropa-Asia, laba kotor yang didapat untuk masing-masing barang pun harus setinggi mungkin. Untuk mengurangi biaya pembelian komoditi sekaligus memastikan keuntungan yang akan diperoleh di pasar Eropa, VOC mencoba untuk memonopoli beberapa produk dagang tertentu. Dari sisi pembelian, monopoli tersebut dapat diwujudkan dengan membuat suatu kesepakatan dengan Negara-negara Asia, atau dengan menguasai wilayah penghasil komoditi tersebut. Dalam kedua kasus di atas, produsen diharuskan untuk secara eksklusif menjual komoditiny akepada VOC dengan harga yang telah disepakati. Rupanya, VOC lebih memilih untuk mengatur arus aliran barang dengan garis politik disbanding membeli di pasar bebas. Betapapun banyaknya keuntungan dari pengadaan komoditi di Asia atau tingkat keuntungan di negeri sendiri, kegiatan dagang VOC tetaplah dikatakan mahal. Para pemegang saham bahkan tidak hanya menanamkan modalnya untuk armada laut bersenjata lengkap dalam jumlah besar, namun juga membangun sebuah kerajaan di luar negeri. Di dalam benteng-benteng besar maupun kecil, pada pos-pos dagang sepanjang Tanjung Harapan samapi daratan Jepang dan dari Maluku Utara hingga pesisir barat India (saat itu bahkan mencapai Teluk Arab), ribuan pegawai VOC di bina dan dilengkapi dengan sarana militer serta amunisi. Konsekuensinya tentu tidak mengejutkan. Sebagian besar anggaran dari armada Hindia-Belanda dikonsentrasikan untuk prioritas pengadaan personel baru dan perlengkapan disbanding untuk membiayai pembelian komoditi yang akan dijual di pasar Asia. Hal ini bersamaan dengan rendahnya permintaan komodiotas Eropa di pasar Asia. Biasanya, logam mulia merupakan mata uang yang harus dibayarkan bangsa Eropa untuk komoditas Asia, namun ekspor logam mulia ini justru menambah mahal kegiatan bisnis VOC. Untuk itu, semenjak kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterz Coen sekitar tahun 1602, VOC telah berpartisipasi dalam jaringan dagang Asia untuk mengusahakan setidaknya sebagian uang demi membayar komoditi yang dibutuhkan. Hal ini menciptakan segitiga arus aliran barang : perak yang didapat dari Jepang digunakan untuk membeli tekstil di India, yang pada gilirannya kemudian digunakan untuk membeli rempah-rempah dan lada untuk pasar Eropa di Asia Tenggara. Bagaimanapun, sekitar tahun 1670, penguasa Jepang melarang ekspor perak sehingga VOC harus kembali sepenuhnya ke pasar Eropa untuk mendapatkan perak .
Sedangkan untuk mendapatkan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, bunga pala, dan kayu manis, VOC menggunakan penaklukan wilayah sebagai jalan untuk mendapatkan hak mononopoli. Wilayah produsen dari komoditi-komoditi tersebut yakni MAluku dan Sri Lanka secara resmi dikuasai oleh Voc tahun 1660. Sedangkan untuk mendapatka hak monopoli atas komoditas lada, VOC membuat suatu perjanjian dengan produsen yang amat mengntungkan pihaknya, yang tidak pernah berhasil ia terapkan di wilayah penghasil rempah. Sepanjang abad 17 dan 18, VOC mendapatkan pasokan lada hitam dari Asia Tenggara. Sekitar tahun 1775, Voc membeli lebih dari sparuh pasokan lada hitamnya (hampir 3.000.000 lbs / 24.000 pikul dalam hitungan kasar) dari Banten di bawah undang-undang monopoli. Selain itu, pasokan lada juga didatangkan dari Palembang. Bahkan, meskipun Banten terletak di Jawa, 80-90% dari komoditas lada di Banten berasal dari Sumatera, seperti Lampung dan Palembang.(de Jonge 1883:383, VOC 3147-3444, 3469 Banten).
            Beerbeda dengan aturan pembelian lada di Jawa yang dilakukan secara tidak langsung, kopi diperkenalkan di Jawa Barat pada awal abad  ke 18. Para produsen kopi diwajibkan untuk mengirimkan hasil produksinya kepada Belanda. Hal ini menjadi suatu keberhasilan bagi VOC dimana mereka mendapatkan barang langsung dari tangan pertama yakni para petani dari daerah daratan tinggi Priangan. Sedangkan di lain pihak, jumlah laba yang didapat tergantung dari kesediaan VOC untuk membayar dengan harga yang pantas dengan suatu aturan yang mereka sebut sebagai politik akstirpasi (politik pemusnahan). Ketika kapasitas produksi dirasa terlalu tinggi, maka VOC akan memerintahkan untuk memusnahkan sebagian wilayah perkebunan. Dikarenakan oleh besanya skala produksi kopi di Yaman an Karibia, VOC tidak pernah mampu untuk memiliki hak monopoli internasional. Namun bagaimanapun, VOC telah berhasil menerapkan control yang ketat di area produksi. Dengan perjanjian yang dibuat, VOC berhasil mem-blok penyebaran penanaman kopi mulai dari bagian barat hingga tengah Jawa. (Knaap 1986:37-8,41;nagtegaal 1988:18). Tahun 1775, sekitar 60% pasokan kopi yang dimiliki VOC atau lebih dari 3.000.000 lbs / 24.000 pikul dalam hitungan kasarnya, didatngkan dari bagian barat hingga Priangan pusat, dan dikontrol langsung dari Batavia. Sisanya hamper 2.000.000 lbs / 16.000pikul dalam hitungan kasar, didatangkan dari Priangan timur menggunakan jalur Cirebon (De Jonge 1883 :327 VOC 3391: 516-7, 3422:1292-3, 3447: 1039-40)
Kemudian terhadap komoditas gula tebu, Produksinya untuk pasar dunia di mulai dalam lingkup sekitaran Batavia selama abad ke-17., segera setelah area ini diamankan dari para penyusup yang berasal dari Banten. Pertumbuhan produksi gula tebu ini bersamaan dengan banyanya imigran China yang masuk ke Batavia seiring Kekaisaran China yang kembali membuka hubungan dagang dengan Asia Tenggara secara resmi tahun 1684. Industri gula tebu VOC melonjak sampai tahun 1720an, kemudian mulai mengalami penurunan akibat kompetisi di pasar Eropa yang semakin ketat dikarenakan gula Karibia yang lebih murah. Selain itu juga dikarenakan adanya keruntuhan pasar secara beruntu di beberapa wilayah Asia sebagai akibat dari gangguan politik. Dalam decade selanjutnya, prospek dari VOC tidak mampu memulihkan keadaan secara keseluruhan karena India sudah mulai mengimpor gula tebu langsung dari Jawa. Dalam tahun 1770an, hanya terdapat 55 pabrik gula di Batavia padahal di awal abad, jumlahnya bahkan lebih dari 2x lipatnya (Blussie 1986:26-7,85,89-93)
Namun, gula tebu tetap memegang peranan yang relative penting bagi VOC. Para pemilik pabrik mengirimkan gula kualitas pertama dan kedua kepada VOC di bawah undang-undang monopoli sedangkan gula dengan kualitas di bawahnya boleh dijual dengan bebas. Sekitar tahun 1775, VOC sendiri telah mengekspor lebih dari 5.000.000 lbs/ 45.000 pikul dalam hitungan kasar, dari Batavia, jauh mlampaui ekspor dari sector privat.
Hal itu diambil dari sudut pandang direktur VOC di Belanda terkait iklim dagang secara global di abad ke-18, bahwa hanya wilayah barat Jawa yang memberikan konstribusi yang cukup berarti kepada VOC mulai abad ke-17. Setidaknya samapi tahun 1680an, Jawa Barat juga hanya memberikan sedikit konstribusi kepada VOC. Sebenarnya, keberadaan VOC di Jawa lebih kepada nilai strategis dibanding ekonomi. Hal ini dikarenakan pusat jaringan pelayaranyang saat itu terletak di Batavia. Namun pada akhir abad 17 dan sebagian besar abad ke-18, Batavia mengalami pertumbuhan yang akhirnya menjadi factor penting dalam permasalahan ekonomi dan politik internal di Jawa. Hal ini berarti bahwa VOC tidak dapat menghindari keterlibatannya dalan usaha memperoleh kekuasaan di Jawa ( Nagtegaal 1988: 19,22). Keterlibatan ini kemudian mengantarkan VOC kepada ekspansi wilayah, dan pada tahun 1750, VOC telah menguasai seluruh pesisir utara Jawa. Dalam konteks ini, Jawa menjadi lebih terkenal dalam kerajaan dagang VOC. Perkembangan ini juga mencerminkan jumlah  personel Voc yang dialokasikan untuk keempat ‘provinsi’ di Jawa : Banten, Batavia, Cirebon dan pesisir timur laut Jawa. Tahun 1625, hanya terdapat 15% dari seluruh pegawai VOC yang ditempatkan di Jawa, sementara selama abad ke-18 jumlahnya naik hingga 30% (Gaastra 1991:84-6)

Politik moneter
VOC menggunakan uang tunai untuk membayar sebagian besar komoditi. Namun, saat itu kondisi keungan di Jawa seringkali tidak mudah, disebabkan fakta bahwa VOC biasanya membayar dengan koin perak. Pada saat itu, koin perak diterima sebagai alat pembayaran utama dalam transaksi internasional, namun jumlahnya amat terbatas jika digunakan untuk menembus ekonomi interna suatu wilayah tertentu.
Nilai koin perak yang coba diperkenalkan oleh Voc ternyata terlalu tinggi untuk transaksi sehar-hari di Jawa. Masyarakat local Jawa pada saat itu menggunakan pici, koin kecil terbuat dari timah dan timbal. Selain itu mereka juga menggunakan kepeng, koin kecil dari tembaga untuk transaksi di pasar local. Ketika Belanda pertama kali datang di banten awal abad 17, mereka mengalami sedikit ketidakstabilan nilai tukar pici dan kepeng terhadap koin perak. Ketidak stabilan ini diakibatkan oleh ketidakteraturan pasokan dari China, dimana koin pici dicetak, serta dari kenyataan bahwa uang semacam ini rentan terhadap kerusakan dan berakibat pada depresiasi nilai instrinsik ketika uang itu beredar. Belanda sangat tergantung dengan situasi ini. Akhirnya sebagai alternative, VOC memutuskan untuk membawa uang receh yang di cetak di Belanda, misalnya stuvier, ke dalam arus peredaran uang. Hasilnya adalah semakin langkanya pici di pasar di Batavia, sekitar tahun 1660an (Blusse 1986:41-8)
Ketika VOC mulai menembus perekonomian wilayah pusat dan timur Jawa tahu 1680, mereka menemukan bahwa standar koin yang paling umum digunakan untuk transaksi berskala besar saat itu adalah reaal yang terbuat dari perak. Untuk transaksi sehari-hari masyarakat jawa masih tetap menggunakan pici dan kepeng yang diproduksi oleh penguasa local.

teori-teori kunci kepemimpinan


1. Teori Trait
Teori ini mempercayai bahwa pemimpin memiliki cara yang bervariasi karena mereka memiliki karakteristik atau disposisi yang sudah melekat dalam dirinya. Ada 5 karakteristik kepemimpinan yang utama menurut teori ini : yaitu percaya diri, empati, ambisi, control diri dan rasa ingin tahu.
Teori ini mengatakan bahwa anda dilahirkan sebagai emimpin dan bahwa kepemimpinan tidak dapat dipelajari.

2. Teori Situational
Teori ini menekankan bahwa kepemimpinan muncul dalam situasi yang berbeda untuk menyesuaikan perbedaan kebutuhan dan lingkungan. Teori ini dikembangkan lebih dulu oleh Blanchard & Hersey (1976), yang mengatakan bahwa pemimpn perlu memiliki perbedaan untuk menyesuaikan kebutuhan dan maturitas pengikut, tidak ada cara yang paling baik bagi gaya kepemimpinan. Leaders perlu mengembangkan gaya kepemimpinan dan dapat mendiagnosa yang mana pendekatan yang sesuai untuk digunakan pada suatu situasi.

3. Transactional and transformational Leadership
Pertama kali dikembangkan oleh James McGregor Burns tahun 1978. dan kemudian dikembangkan oleh Bass dan lain-lain.
Kepemimpinan ini menggunakan pendekatan kepada bawahan dengan menukarkan sesuatu untuk yang lainnya (seperti menggunakan financial atau status insentif). Kepemimpinan transaksional berdasarkan pada pemikiran memberikan motivasi kepada bawahan melalu bentuk instrument seperti uang atau system reward. Bass et al (1987) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional adalah universal dan dapat diaplikasikan tanpa memperhatikan budaya, memberi semangat pada bawahan untuk lebih mementingkan organisasi atau kelompok. Kepemimpinan transformasional lebih menkonsentrasikan pada pengembangan bawahan daripada pencaaian target (Kepemimpinan transaksional) dan dalam beberapa buku kepemimpinan transformasional sama dengan leadership berlawanan dengan kepemimpinan transaksional yang disamakan dengan manajemen.

Leadership dan perubahan
Kouzes dan Posner (1987) melakukan pengamatan dan menunjukkan bahwa ketrampilan kepemimpinan dapat dipelajari. Kouzes & Posner mengemukakan 5 langkah proses yang mana seorang leader dapat melakukan sesuatu :
a. Tantangan adalah proses mendorong orang lain berani mengambil risiko
b. Bersemangat untuk mencapai visi
c. Memungkinkan bawahan untuk bertindak
d. Menjadi model
e. Mendorong dan mendukung dengan hati

Penerapan kelima langkah ini memiliki arti bahwa seorang leader perlu untuk belajar bagaimana menjadikan timnya sebagai kekuatan yang positif



Leadership bagi asuhan kesehatan professional
Satu dari kesulitan memperlihatkan kepemimpinan pada asuhan kesehatan professional adalah banyaknya teori yang tidak dikembangkan dalam konteks asuhan kesehatan. Biasanya teori-teori dikembangkan dalam konteks bisnis dan kemudian diaplikasikan pada pelayanan kesehatan. Dan juga sebagian besar riset yang dipublikasikan mengenai kepemimpinan pelayanan kesehatan sedikit sekali menjelaskan kejadian-kejadian yang berdampak pada perbaikan perawatan pasien atau sasaran organisasi (Vance & Larson, 2002).



Keterbatasan dominansi diri dan pengaruh interpersonal

Drath (2001) memberikan satu kritik yang menarik mengenai teori leadership “Dominansi diri (teori trait dan kepemimpinan yag karismatik) dan pengaruh interpersonal (kepemimpinan transformative, kepemimpinan transaksional dan teori kontingensi)”.



Pengembangan leaders dan leadership : definisi pengembangan leadership

Yukl (1998) menjelaskan bahwa leadership dan manajemen adalah berbeda tetapi saling terkait. Wexley & Baldwin (1986) menguraikan bahwa pengembangan manajemen yang utama adalah sebagai edukasi dan pelatihan dengan menekankan kepada jenis-jenis pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan khusus yang akan diperoleh.

Mc. Cauley et al (1998) mendefinisikan pengembangan leadership sebagai perluasan sekumpulan kapasitas yang berhubungan dengan anggota organisasi untuk mengikutsertakan secara efektif dalam peran-peran dan proses-proses leadership. Keys & Wolfe (1988) menjelaskan bahwa proses leadership sebagai kemampuan sekelompok orang untuk bekerja bersama-sama penuh arti mengingat proses manajemen yang cenderung untuk menjadikan posisi dan yang berhubungan dengan organisasi secara khusus.

Pengembangan Kepemimpinan dan pemimpin yang efektif

Day (2001) membuat perbedaan antara Pengembangan Kepemimpinan dan pemimpin yang efektif
Pengembang leader ciri khasnya difokuskan pada kemampuan dasar individu dan ketrampilan, dan kemampuan dikelompokkan dengan peran-peran leadership secara formal. Sering yang berhubungan dengan perkembangan model menyangkut pembangunan kompetensi personal yang dibutuhkan untuk membentuk model diri yang akurat agar mengikutsertakan perkembangan identitas dan sikap yang sehat (Hall & Seibert, 1992). Pengembangan leader kemudian memerlukan individu tersebut untuk menggunakan model dirinya agar berpenampilan secara efektif dalam berbagai peran.

Penekanan utama pada pengembangan leadership adalah membangun dan menggunakan kemampuan interpersonal (Day, 2001). Kunci aspek-aspek program pengembangan yang termasuk kesadaran sosial seperti orientasi pada pelayanan, empati dan pengembangan lainnya; ketrampilan sosial seperti membangun hubungan, kolaborasi, kerjasama dan manajemen konflik. Conger et al (1999) memperingatkan tendensi dalam organisasi untuk membiarkan pengembangan leadership menjadi ”proses yang tanpa rencana” dimana tujuan pengembangan tidak jelas, akontabilitas terhadap pelaksanaan dan terdapat kegagalan untuk evaluasi yang efektif.

Perbedaan antara pengembangan leadership dan pengembangan leader sebaiknya tidak membiarkan yang satu cenderung untuk dipertimbangkan melebihi yang lain. Pengembangan leader tanpa menghormati keterkaitan yang berhubungan dengan organisasi dan konteks sosial mengabaikan banyak literatur leadership dan sedikit untuk mempertinggi kapasitas organisasi.

Konsepsi Geopolitik


Geopolitik secara etimologi berasal dari kata geo (bahasa Yunani) yang berarti bumi yang menjadi wilayah hidup. Sedangkan politik dari kata polis yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri atau negara ; dan teia yang berarti urusan (politik) bermakna kepentingan umum warga negara suatu bangsa (Sunarso, 2006: 195). Sebagai acuan bersama, geopolitik dimaknai sebagai ilmu penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu bangsa. Frederich Ratzel mengenalkan istilah ilmu bumi politik (political geography), Rudolf Kjellen menyebut geographical politic dan disingkat geopolitik.
Unsur utama Geopolitik
• Konsepsi ruang diperkenalkan Karl Haushofer menyimpulkan bahwa ruang merupakan wadah dinamika politik dan militer, teori ini disebut pula teori kombinasi ruang dan kekuatan
• Konsepsi frontier (batas imajiner dari dua negara)
• Konsepsi politik kekuatan yag terkait dengan kepentingan nasional
• Konsepsi keamanan negars dan bangsa sama dengan konsep ketahanan nasional
Geopolitik Indonesia
Geopolitik Indonesia tiada lain adalah Wawasan Nusantara
• Wawasan Nusantara tidak mengandung unsur-unsur ekspansionisme maupun kekerasan
• Cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945, yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bermartabat serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaannya dalam mencapai tujuan nasional.
• Wawasan nusantara juga sering dimaknai sebagai cara pandang, cara memahami, cara menghayati, cara bertindak, berfikir dan bertingkah laku bagi bangsa Indonesia sebagai hasil interaksi proses psikologis, sosiokultural dengan aspek-aspek ASTAGATRA
Konsepsi Geostrategi
• Suatu strategi memanfaatkan kondisi geografi Negara dalam menentukan kebijakan, tujuan, sarana utk mencapai tuj-nas (pemanfaatan kondisi lingkungan dalam mewujudkan tujuan politik).
• Geostrategi Indonesia diartikan pula sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan dan UUD 1945.
• Ini diperlukan utk mewujudkan dan mempertahankan integrasi bangsa dalam masyarakst majemuk dan heterogen berdasarkan Pemb dan UUD 1945.
• Geostrategi Indonesia dirumuskan dalam wujud Ketahanan Nasional.
Geostrategi Indonesia tiada lain adalah ketahan nasional
• Ketahanan Nasional mrpk kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi segala ATHG baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsungg maupun tidak langsug membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mengejar tujuan nasional.
• Tannas diperlukan bukan hanya konsepsi politik saja melainkan sebagai kebutuhan dalam menunjang keberhasilan tugas pokok pemerintah, seperti Law and order, Welfare and prosperity, Defence and security, Juridical justice and social justice, freedom of the people.
Konsepsi dasar Ketahan Nasional
Model Astagatra merupakn perangkat hubungan bidang kehidupan manusia dan budaya yang berlangsung diatas bumi degan memanfaatkan segala kekayaan alam. Terdiri 8 aspek kehidupan nasional :
1). Tiga aspek (tri gatra) kehidupan alamiah, yaitu :
a). Gatra letak dan kedudukan geografi
b). Gatra keadaan dan kekayaan alam
c). Gatra keadaan dan kemampuan penduduk
2). Lima aspek (panca gatra) kehidupan social, yaitu :
a). Gatra ideologi
b). Gatra Politik
c). Gatra ekonomi
d). Gatra social budaya
e). Gatra pertahanan dan keamanan.
Terdapat hubungan korelatif dan interdependency diantara ke-8 gatra secara komprehensif dan integral.

Hubungan Geopolitik Dan Geostrategi
Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan maritim, maka diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim (maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ancaman. Selain itu hubungan geopolitik dan geostrategi terdapat dalam astra gatra
Komponen strategi astra gatra
TRI GATRA (tangible) bersifat kehidupan alamiah
• Letak geografi Negara
• Keadaan dan kekayaan alam (flora, fauna, dan mineral baik yang di atmosfer, muka maupun perut bumi) dikelola denga dasar 3 asas: asas maksimal, lestari, dan daya saing.
• Keadaan dan kemampuan penduduk (jumlah, komposisi, dan distribusi)
Pancagatra
(itanggible) kehidupan sosial
• IDEOLOGI → Value system
• POLITIK → Penetapan alokasi nilai di sektor pemerintahan dan kehidupan pololitik masyarakat. sistem politik harus mampu memenuhi lima fungsi utama :
a). Usaha mempertahankan pola, struktur, proses politik
b). Pengaturan & penyelesaian pertentangan / konflik
c). Penyesuaian dengan perubahan dalam masyarakat
d). Pencapaian tujuan
e). Usaha integrasi
• EKONOMI (SDA, Tenaga kerja, Modal, Teknologi)
• SOSBUD (Tradisi, Pendidikan, Kepemimpinan nas, Kepribadian nas)
• HANKAM meliputi faktor2:
a). Doktrin
b). Wawasan Nasional
c). Sistem pertahanan keamanan
d). Geografi
e). Manusia
f). Integrasi angkatan bersenjata dan rakyat
g). Material
h). Ilmu pengetahuan dan teknologi
i). Kepemimpinan
j). Pengaruh luar negeri

hakikat kepemimpinan


Apakah pemimpin (leader) itu? Dari berbagai literatur yang ada, dapat dicatat bahwa pemimpin adalah sosok yang, dengan segenap potensi dan kewenangan yang ada, mampu mampu memotivasi, mengarahkan, dan menggerakkan orang lain untuk secara sadar dan sukarela berpartisipasi di dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin organisasi. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang guna mempengaruhi, memotivasi, dan mengaktivasi aneka potensi dan sumber daya yang ada, sehingga organisasi yang dipimpinnya mampu berjalan secara efektif dalam rangka mengupayakan perwujudan tujuan-tujuannya (leadership is the ability of an individual to influence, motivate, and enable others to contribute toward the effectiveness and success of the organizations of which they are members). Organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang teknis penyelenggaraannya sederhana hingga yang amat kompleks.

Secara teoritis terdapat dua pandangan mengenai pemimpin dan kepemimpinan: darimana ia berasal. Pertama, teori genetik (genetic theory), yang menyebut bahwa pemimpin dan kepemimpinan ditentukan oleh faktor genetik (turunan). Kedua, teori yang mencatat pentingnya karakter/kepribadian (traits theory). Ketiga, teori pengaruh lingkungan (behavioral theory). Benarkah pemimpin dan kepemimpinan semata ditentukan oleh faktor genetik? Tidak sepenuhnya benar. Faktor genetik memang perlu sekali, tetapi yang terpenting adalah bagaimana karakter kepemimpinan dapat hadir dalam sosok indvidu seorang pemimpin. Selain itu, kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan seseorang juga ditentukan oleh seberapa besar pengalaman dan persentuhannya dengan lingkungan (sosial). Oleh sebab itulah, harus dipahami bahwa setiap individu memiliki potensi kepemimpinan, yang apabila diasah dan dikembangkan, maka ia akan tampil sebagai sosok pemimpin yang mumpuni di bidangnya.

Apa saja hal-hal yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin? Setiap pemimpin harus memiliki karakter dasar dan basic values kepemimpinan. Dalam perspektif agama Islam, disebutkan adanya empat sifat/karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin, sebagaimana dimiliki oleh Rasulullah Muhammad SAW yakni sidiq (benar, jujur),  amanah (terpercaya), tabligh (komunikator), dan fathanah (cerdas).

Sifat-sifat tersebut, selaras dengan prinsip-prinsip kepemimpinan modern, di mana setiap pemimpin harus, memiliki visi, di mana seorang pemimpin adalah manusia pembelajar, memiliki ide-ide besar yang visioner dan menjadi referensi utama bagi yang dipimpin. Seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan (ability) dan kapasitas (capacity), antara lain: keahlian/kecakapan (skill) dalam berkomunikasi, memotivasi, dan yang lainnya; pengetahuan/wawasan (knowledge); pengalaman (experience); kemampuan mengembangkan pengaruh (influence); kemampuan menggalang solidaritas (Solidarity maker); serta kemampuan memecahkan masalah (decision making).

Seorang pemimpin juga harus memiliki integritas (integrity), yakni memiliki kepribadian yang utuh/berwibawa (kharisma); bijaksana (wisdom); bersikap empatik; memiliki prinsip-prinsip yang utama dalam hidupnya; menjadi panutan (kelompok referensi utama); serta, mampu mengutamakan kepentingan lebih besar, ketimbang kepentingan kecil dan sempit (negarawan). Di atas semua itu, seorang pemimpin total dalam mengerahkan segenap potensi yang ada pada dirinya untuk kemajuan organisasi (prinsip totality).

Dalam konteks model kepemimpinan, dikenal dua model, yakni, pertama, model kepemimpinan transformasional, yakni kepemimpinan yang mampu membawa organisasi kepada perubahan-perubahan dalam visi, strategi, dan budaya organisasi (kepemimpinan yang dinamis dan produktif). Kedua, kepemimpinan transaksional, yang cenderung mempertahankan kestabilan dan status quo dalam organisasi, ketimbang mempromosikan perubahan (kepemimpinan yang statis).
Hakikat Kepemimpinan Politik
Sebelum membahas hakikat kepemimpinan politik, maka perlu dipahami terlebih dahulu hakikat politik dan hakikat individu berpolitik. Politik terkait dengan upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan (power). Politik dan kekuasaan adalah tujuan-antara (cara), bukan tujuan utama itu sendiri. Idealnya, kekuasaan harus dimanfaatkan  untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kekuasaan tidak boleh dipakai untuk kepentingan diri-sendiri. Namun demikian, kita juga harus catat aksioma Lord Acton yang menegaskan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan (power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely). Kita juga mencatat, adanya kecenderungan manusia untuk, sebagaimana disinyalir Machiavelli, menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Karena politik memiliki tujuan-tujuan mulia, yakni untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, maka insan-insan yang menjadi politisi haruslah didasari oleh suatu keterpanggilan. Jadi, politisi hadir karena keterpanggilan (bukan profesi), sehingga politik-kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan kemakmuran/ kesejahteraan rakyat dan tujuan-tujuan bangsa lainnya. Karenanya dapat dipahami, bahwa yang terpanggil untuk berkiprah di bidang politik justru berasal dari beragam profesi (dokter, pengacara, pengusaha, konsultan, dosen/intelektual, dan sebagainya).

Karena politik merupakan panggilan dan memiliki tujuan mulia, maka konsekuensinya, setiap politisi harus memiliki visi politik yang kuat serta komitmen yang tinggi atas prinsip-prinsip politik yang dianutnya; mampu memanfaatkan sumber daya politik yang ada secara optimal; bertindak berdasarkan kalkulasi politik yang rasional dan logis; serta mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan politik yang produktif (bukan kontraproduktif).

Seorang politisi, juga dituntut untuk mampu mempertahankan konstituen politik dengan baik, bahkan mampu memunculkan dukungan-dukungan politik yang signifikan; mampu mengelola potensi konflik yang ada dengan baik dan efektif; mampu memotivasi anak-buah dan konstituennya dengan baik, sehingga senantiasa optimis dan mampu bangkit dari keterpurukan. Di samping itu, ia juga dituntut untuk mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan segmen manapun; mampu memberi contoh dan mendorong suatu proses pendidikan dan pencerahan politik; mampu menghadirkan proses sirkulasi elite di dalam organisasi secara sehat; dan mampu mendudukkan orang-orangnya di posisi-posisi strategis di lembaga-lembaga politik kenegaraan yang ada.

Itulah, setidaknya gambaran ideal kepemimpinan politik. Di dalam iklim yang demokratis, tentu kepemimpinan politik juga harus selaras dengan nilai-nilai demokrasi yang substansial. Seorang pemimpin politik harus paham benar etika politik, sehingga proses dan dinamika politik berjalan secara beradab. 
Hakikat Kepemimpinan Politik yang Negarawan
Istilah negarawan (statesman) merupakan istilah yang cukup populer. Secara ensiklopedis seorang negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional (a statesman is usually a politician or other notable figure of state who has had a long and respected career in politics at national and international level). Tokoh yang berjasa (worthy) pada bangsa/negara tentu merupakan tokoh yang mengabdikan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsanya.

Kepemimpinan politik yang negarawan tentu saja amat terkait dengan komitmen kebangsaan dan kenegaraan. Penjelasan yang amat umum dijumpai di sini, terkait dengan kenegarawanan adalah, bahwa sikap tersebutlah yang menuntut para politisi dan untuk meminimalisasikan kepentingan pribadi dan kelompok, dan sebaliknya memaksimalisasikan kepentingan bangsa/negara yang lebih besar.

Negarawan adalah orang yang berjasa dan berkorban demi bangsa dan negaranya, tidak memandang apa latar-belakang politiknya. Idealnya, ketika kader partai, kemudian terpilih menjadi pejabat negara, maka berlakulah adagium “ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir‿. Artinya, seorang pejabat negara harus berkonsentrasi untuk “mengurus negara‿ dengan benar, walaupun tanpa harus menghapuskan identitas latar-belakang politiknya sama sekali. Karena, identitas politik seorang politisi (negarawan) senantiasa melekat padanya. Yang penting, seorang pemimpin politik yang negarawan adalah yang paham betul skala prioritas: mana yang lebih didahulukan (kepentingan bangsa/negara lebih luas) dan yang tidak.

Sebagaiman dikutip dari Filosof Aristoteles di awal tulisan ini, bahwa seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, di mana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Bercermin dari Kenegarawanan Para Pemimpin Terdahulu
Sejak kemerdekaan dan sepanjang pengelolaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilakukan, maka sesungguhnya telah banyak tercatat teladan-teladan pemimpin negarawan yang semestinya harus kita tiru dan amalkan. Terhadap para Bapak Bangsa (The Founding Fathers) dan segenap tokoh yang terlibat tidak langsung dalam kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, kita dapat mencatat adanya semangat mereka yang amat luar biasa di dalam mengorbankan kepentingan diri pribadi dan kelompok bagi berdirinya sebuah negara bangsa: Republik Indonesia. Para pendiri Bangsa adalah negarawan-negarawan sejati, yang satu sama lain saling berkoran dan bekerjasama demi hadirnya sebuah bangsa yang lepas dari penjajahan.

Sepanjang era pascakemerdekaan hingga kini, kita telah mencatat beberapa segi baik yang ditinggalkan para negarawan kita, bahwa seorang pemimpin (politik) yang negarawan, memiliki karakter kepemimpinan yang kuat serta komitmen kebangsaan yang tegas; sederhana dan senantiasa berupaya menjadi teladan yang baik bagi yang dimpimpin; mampu memberikan motivasi pada rakyat untuk senantiasa optimis (tidak putus asa) dan mampu memecahkan masalah; mampu mengayomi rakyat secara adil dan tidak sewenang-wenang; dan mampu mengembangkan kerjasama secara sinergis antarelemen politik (sosial) yang ada di dalam masyarakat/bangsa yang majemuk.

Sudah semestinya sifat-sifat kenegarawanan para pemimpin kita terdahulu perlu diinternalisasikan ke dalam tiap diri para pemimpin dan calon-calon pemimpin kita saat ini. Bangsa ini butuh keteladanan dan sikap-sikap kenegarawanan yang lain. Mudah-mudahan kita selalu mampu mengambil hikmah dari para pemimpin-pemimpin kita di masa lalu, dan menjadi inspirasi bagi masa depan bangsa.