Selasa, 18 Oktober 2011

Politik ekonomi VOC


Objek ekonomi di Jawa

Tujuan dari Voc telah jelas sejak berdirinya tahun 1602 di republic Belanda, yakni mendapatkan barang-barang dari Asia yang bisa dijual dengan laba yang pantas di pasar Eropa. Hal ini telah diatur oleh pemerintah Belanda dengan menjadikan voc sebagai perusahaan dagang dengan hak-hak khusus dalam kegiatannya terkait aturan dagang di Eropa.Bagaimanapun, akibat mahalnya biaya perjalanan lintas benua Eropa-Asia, laba kotor yang didapat untuk masing-masing barang pun harus setinggi mungkin. Untuk mengurangi biaya pembelian komoditi sekaligus memastikan keuntungan yang akan diperoleh di pasar Eropa, VOC mencoba untuk memonopoli beberapa produk dagang tertentu. Dari sisi pembelian, monopoli tersebut dapat diwujudkan dengan membuat suatu kesepakatan dengan Negara-negara Asia, atau dengan menguasai wilayah penghasil komoditi tersebut. Dalam kedua kasus di atas, produsen diharuskan untuk secara eksklusif menjual komoditiny akepada VOC dengan harga yang telah disepakati. Rupanya, VOC lebih memilih untuk mengatur arus aliran barang dengan garis politik disbanding membeli di pasar bebas. Betapapun banyaknya keuntungan dari pengadaan komoditi di Asia atau tingkat keuntungan di negeri sendiri, kegiatan dagang VOC tetaplah dikatakan mahal. Para pemegang saham bahkan tidak hanya menanamkan modalnya untuk armada laut bersenjata lengkap dalam jumlah besar, namun juga membangun sebuah kerajaan di luar negeri. Di dalam benteng-benteng besar maupun kecil, pada pos-pos dagang sepanjang Tanjung Harapan samapi daratan Jepang dan dari Maluku Utara hingga pesisir barat India (saat itu bahkan mencapai Teluk Arab), ribuan pegawai VOC di bina dan dilengkapi dengan sarana militer serta amunisi. Konsekuensinya tentu tidak mengejutkan. Sebagian besar anggaran dari armada Hindia-Belanda dikonsentrasikan untuk prioritas pengadaan personel baru dan perlengkapan disbanding untuk membiayai pembelian komoditi yang akan dijual di pasar Asia. Hal ini bersamaan dengan rendahnya permintaan komodiotas Eropa di pasar Asia. Biasanya, logam mulia merupakan mata uang yang harus dibayarkan bangsa Eropa untuk komoditas Asia, namun ekspor logam mulia ini justru menambah mahal kegiatan bisnis VOC. Untuk itu, semenjak kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterz Coen sekitar tahun 1602, VOC telah berpartisipasi dalam jaringan dagang Asia untuk mengusahakan setidaknya sebagian uang demi membayar komoditi yang dibutuhkan. Hal ini menciptakan segitiga arus aliran barang : perak yang didapat dari Jepang digunakan untuk membeli tekstil di India, yang pada gilirannya kemudian digunakan untuk membeli rempah-rempah dan lada untuk pasar Eropa di Asia Tenggara. Bagaimanapun, sekitar tahun 1670, penguasa Jepang melarang ekspor perak sehingga VOC harus kembali sepenuhnya ke pasar Eropa untuk mendapatkan perak .
Sedangkan untuk mendapatkan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, bunga pala, dan kayu manis, VOC menggunakan penaklukan wilayah sebagai jalan untuk mendapatkan hak mononopoli. Wilayah produsen dari komoditi-komoditi tersebut yakni MAluku dan Sri Lanka secara resmi dikuasai oleh Voc tahun 1660. Sedangkan untuk mendapatka hak monopoli atas komoditas lada, VOC membuat suatu perjanjian dengan produsen yang amat mengntungkan pihaknya, yang tidak pernah berhasil ia terapkan di wilayah penghasil rempah. Sepanjang abad 17 dan 18, VOC mendapatkan pasokan lada hitam dari Asia Tenggara. Sekitar tahun 1775, Voc membeli lebih dari sparuh pasokan lada hitamnya (hampir 3.000.000 lbs / 24.000 pikul dalam hitungan kasar) dari Banten di bawah undang-undang monopoli. Selain itu, pasokan lada juga didatangkan dari Palembang. Bahkan, meskipun Banten terletak di Jawa, 80-90% dari komoditas lada di Banten berasal dari Sumatera, seperti Lampung dan Palembang.(de Jonge 1883:383, VOC 3147-3444, 3469 Banten).
            Beerbeda dengan aturan pembelian lada di Jawa yang dilakukan secara tidak langsung, kopi diperkenalkan di Jawa Barat pada awal abad  ke 18. Para produsen kopi diwajibkan untuk mengirimkan hasil produksinya kepada Belanda. Hal ini menjadi suatu keberhasilan bagi VOC dimana mereka mendapatkan barang langsung dari tangan pertama yakni para petani dari daerah daratan tinggi Priangan. Sedangkan di lain pihak, jumlah laba yang didapat tergantung dari kesediaan VOC untuk membayar dengan harga yang pantas dengan suatu aturan yang mereka sebut sebagai politik akstirpasi (politik pemusnahan). Ketika kapasitas produksi dirasa terlalu tinggi, maka VOC akan memerintahkan untuk memusnahkan sebagian wilayah perkebunan. Dikarenakan oleh besanya skala produksi kopi di Yaman an Karibia, VOC tidak pernah mampu untuk memiliki hak monopoli internasional. Namun bagaimanapun, VOC telah berhasil menerapkan control yang ketat di area produksi. Dengan perjanjian yang dibuat, VOC berhasil mem-blok penyebaran penanaman kopi mulai dari bagian barat hingga tengah Jawa. (Knaap 1986:37-8,41;nagtegaal 1988:18). Tahun 1775, sekitar 60% pasokan kopi yang dimiliki VOC atau lebih dari 3.000.000 lbs / 24.000 pikul dalam hitungan kasarnya, didatngkan dari bagian barat hingga Priangan pusat, dan dikontrol langsung dari Batavia. Sisanya hamper 2.000.000 lbs / 16.000pikul dalam hitungan kasar, didatangkan dari Priangan timur menggunakan jalur Cirebon (De Jonge 1883 :327 VOC 3391: 516-7, 3422:1292-3, 3447: 1039-40)
Kemudian terhadap komoditas gula tebu, Produksinya untuk pasar dunia di mulai dalam lingkup sekitaran Batavia selama abad ke-17., segera setelah area ini diamankan dari para penyusup yang berasal dari Banten. Pertumbuhan produksi gula tebu ini bersamaan dengan banyanya imigran China yang masuk ke Batavia seiring Kekaisaran China yang kembali membuka hubungan dagang dengan Asia Tenggara secara resmi tahun 1684. Industri gula tebu VOC melonjak sampai tahun 1720an, kemudian mulai mengalami penurunan akibat kompetisi di pasar Eropa yang semakin ketat dikarenakan gula Karibia yang lebih murah. Selain itu juga dikarenakan adanya keruntuhan pasar secara beruntu di beberapa wilayah Asia sebagai akibat dari gangguan politik. Dalam decade selanjutnya, prospek dari VOC tidak mampu memulihkan keadaan secara keseluruhan karena India sudah mulai mengimpor gula tebu langsung dari Jawa. Dalam tahun 1770an, hanya terdapat 55 pabrik gula di Batavia padahal di awal abad, jumlahnya bahkan lebih dari 2x lipatnya (Blussie 1986:26-7,85,89-93)
Namun, gula tebu tetap memegang peranan yang relative penting bagi VOC. Para pemilik pabrik mengirimkan gula kualitas pertama dan kedua kepada VOC di bawah undang-undang monopoli sedangkan gula dengan kualitas di bawahnya boleh dijual dengan bebas. Sekitar tahun 1775, VOC sendiri telah mengekspor lebih dari 5.000.000 lbs/ 45.000 pikul dalam hitungan kasar, dari Batavia, jauh mlampaui ekspor dari sector privat.
Hal itu diambil dari sudut pandang direktur VOC di Belanda terkait iklim dagang secara global di abad ke-18, bahwa hanya wilayah barat Jawa yang memberikan konstribusi yang cukup berarti kepada VOC mulai abad ke-17. Setidaknya samapi tahun 1680an, Jawa Barat juga hanya memberikan sedikit konstribusi kepada VOC. Sebenarnya, keberadaan VOC di Jawa lebih kepada nilai strategis dibanding ekonomi. Hal ini dikarenakan pusat jaringan pelayaranyang saat itu terletak di Batavia. Namun pada akhir abad 17 dan sebagian besar abad ke-18, Batavia mengalami pertumbuhan yang akhirnya menjadi factor penting dalam permasalahan ekonomi dan politik internal di Jawa. Hal ini berarti bahwa VOC tidak dapat menghindari keterlibatannya dalan usaha memperoleh kekuasaan di Jawa ( Nagtegaal 1988: 19,22). Keterlibatan ini kemudian mengantarkan VOC kepada ekspansi wilayah, dan pada tahun 1750, VOC telah menguasai seluruh pesisir utara Jawa. Dalam konteks ini, Jawa menjadi lebih terkenal dalam kerajaan dagang VOC. Perkembangan ini juga mencerminkan jumlah  personel Voc yang dialokasikan untuk keempat ‘provinsi’ di Jawa : Banten, Batavia, Cirebon dan pesisir timur laut Jawa. Tahun 1625, hanya terdapat 15% dari seluruh pegawai VOC yang ditempatkan di Jawa, sementara selama abad ke-18 jumlahnya naik hingga 30% (Gaastra 1991:84-6)

Politik moneter
VOC menggunakan uang tunai untuk membayar sebagian besar komoditi. Namun, saat itu kondisi keungan di Jawa seringkali tidak mudah, disebabkan fakta bahwa VOC biasanya membayar dengan koin perak. Pada saat itu, koin perak diterima sebagai alat pembayaran utama dalam transaksi internasional, namun jumlahnya amat terbatas jika digunakan untuk menembus ekonomi interna suatu wilayah tertentu.
Nilai koin perak yang coba diperkenalkan oleh Voc ternyata terlalu tinggi untuk transaksi sehar-hari di Jawa. Masyarakat local Jawa pada saat itu menggunakan pici, koin kecil terbuat dari timah dan timbal. Selain itu mereka juga menggunakan kepeng, koin kecil dari tembaga untuk transaksi di pasar local. Ketika Belanda pertama kali datang di banten awal abad 17, mereka mengalami sedikit ketidakstabilan nilai tukar pici dan kepeng terhadap koin perak. Ketidak stabilan ini diakibatkan oleh ketidakteraturan pasokan dari China, dimana koin pici dicetak, serta dari kenyataan bahwa uang semacam ini rentan terhadap kerusakan dan berakibat pada depresiasi nilai instrinsik ketika uang itu beredar. Belanda sangat tergantung dengan situasi ini. Akhirnya sebagai alternative, VOC memutuskan untuk membawa uang receh yang di cetak di Belanda, misalnya stuvier, ke dalam arus peredaran uang. Hasilnya adalah semakin langkanya pici di pasar di Batavia, sekitar tahun 1660an (Blusse 1986:41-8)
Ketika VOC mulai menembus perekonomian wilayah pusat dan timur Jawa tahu 1680, mereka menemukan bahwa standar koin yang paling umum digunakan untuk transaksi berskala besar saat itu adalah reaal yang terbuat dari perak. Untuk transaksi sehari-hari masyarakat jawa masih tetap menggunakan pici dan kepeng yang diproduksi oleh penguasa local.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar