Jumat, 14 Oktober 2011

9 Mitos Geopolitik

Geopolitik biasanya diartikan sebagai hubungan dan kaitan antara kekuatan politik dan posisi geografis. Doktrin geopolitik mulai menarik perhatian sejak dipopulerkannya karya
Sir Halford Mackinder di Inggris tentang Teori Heartland di tahun 1914, yang merujuk kepada masa Imperium Inggris dengan menunjukkan pentingnya kekuatan angkatan laut dalam konflik dunia.
Ketika politik melihat pada penggunaan kekuatan, geopolitik meliat kekuatan dalam hubungannya dengan tempat dan sumber daya. Dunia Barat yang telah mendominasi geopolitik sejak awal abad ke20, melahirkan berbagai mitos yang beberapa diantaranya tersembunyi problema kronis. Sebagai muslim yang tercerahkan, kita harus memahami situasi politik global, tidak hanya sebagai alat untuk membela umat dan agama, tetapi juga untuk membongkar kelemahan dunia Kapitalis Barat.
Berikut mitos-mitos tersebut:

1. Populasi Dunia telah terlalu banyak (overpopulated)
Pertumbuhan populasi yang meningkat sering dituding sebagai sebab langkanya pangan. Kesimpulan ini diyakini sebagai sebab adanya kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial kemasyaratan. Pembangunan ekonomi di dunia ketiga tidak akan berhasil apabila angka pertumbuhan populasi tidak dikontrol. Itu sebabnya lembaga internasional dan pemerintahan mengembangkan dan menerapkan strategi untuk mengontrol angka pertumbuhan di dunia ketiga. Meledaknya angka populasi ini dinamai ‘over’ yang berimplikasi pada penggunaan sumber daya yang habis-habisan untuk menunjang besarnya pertumbuhan populasi tersebut dan mengakibatkan ketidakstabilan global.
Ketika asumsi-asumsi tersebut dicermati, maka tampaklah bahwa populasi bukanlah kambing hitam yang selama ini dipercaya, namun justru agenda politik yang menyebabkan bencana dibanyak belahan dunia. Agenda ini bermaksud untuk mengalihkan masyarakat awam dari faktor penyebab yang sesungguhnya yaitu gaya hidup, konsumerisme, pemiskinan, dan penindasan dunia ketiga oleh dunia barat.
Negeri-negeri maju seperti Jepang, Rusia, Jerman, Swiss dan Eropa Timur saat ini mengalami dilemma seperti menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk karena rendahnya angka kelahiran. Negara2 di Barat lainnya juga pasti akan mengalami penurunan populasi kalau saja tidak adanya imigrasi dari penduduk negeri lainnya. Menurunnya jumlah penduduk di Barat dibandingkan dengan negeri-negeri lain seperti negeri dunia Islam, menyebabkan penduduk di negeri muslim memiliki hak suara yang lebih tinggi dalam percaturan kelembagaan internasional karena populasinya yang meninggi. Dan isu tentang jumlah populasi ini sering digunakan untuk menjatuhkan negeri yang berpopulasi besar sehingga bisa mengurangi ancaman pengaruh dari negeri tersebut di masa mendatang. Contohnya, Turki. Kalau saja Turki bisa masuk ke dalam keanggotaan Uni Eropa, jumlah penduduk Turki sebesar 70 juta jiwa adalah jumlah kedua terbesar di parlemen Eropa. Lebih jauh lagi, demografi Turki akan menyalip Jerman dalam jumlah perwakilan di parlemen Eropa pada tahun 2020. Keanggotaan Turki juga akan mempengaruhi arah masa depan Uni Eropa seperti rencana perluasan, sebagai dasar penolakan Valery Giscard d’Estaing dari Perancis terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa [1]. D’estaing mengatakan bahwa masuknya Turki akan berlanjut pada keinginan Maroko untuk ikut bergabung pula.
Maka, dunia ini sebetulnya tidak atau belum mengalami ledakan populasi (overpopulated). Hanya Dunia Barat saja yang rakus.

2. Intervensi barat terhadap konflik Balkan di tahun 1990an adalah untuk menolong umat Islam
Serangan NATO pada Yugoslavia di tahun 1993 sering ditampilkan dunia barat sebagai akibat keraskepalanya rezim Yugoslavia untuk menerima rencana perdamaian – terutama pada penolakan Yugoslavia terhadap masuknya pasukan pemelihara perdamaian di Kosovo. Intervensi barat yang berujung pada pemboman beruntun terhadap Yugoslavia oleh NATO selalu dijadikan bukti oleh NATO bahwa ‘Perang melawan Teror’ saat ini bukanlah perang melawan Islam. Sebab, dunia Barat menyatakan bahwa ia akan menyerang siapapun demi misi kemanusiaan, bahkan kalau perlu ‘menyelamatkan’ muslim Kosova dari kebengisan Yugoslavia di tahun 1993. Kenyataan geopolitik sebenarnya tidak seperti itu. Ketidakstabilan Balkan di tahun 1990an sebenarnya dipicu oleh keinginan kuat oleh Amerika untuk mengurangi pengaruh Rusia, menaikkan ketergantungan eropa pada AMerika, dan memberikan legitimasi baru pada NATO, yang telah kehilangan fungsi sejak berakhirnya Perang Dingin (runtuhnya Uni Sovyet dan Pakta Warsawa).
Negeri Barat terutama AS dan Inggris berusaha keras untuk memecah Yugoslavia, yang terungkap oleh kata-kata dubes AS untuk Yugoslavia Warren Zimmerman pada bulan Januari 1992 sebelum pecahnya konflik sebagai ‘usaha kita untuk memecah Yugoslavia menjadi negeri-negeri kecil.”[2] Pada tanggal 18 Maret 1992, Uni Eropa mensponsori usaha perdamaian di Lisbon yang melibatkan Muslim Bosnia, Kroasia, dan Serbia untuk memecah Yugoslavia menjadi kantong-kantong negeri independen berbasis etnis atau agama, yang bersatu dalam bentuk semacam federasi. Usaha perdamaian ini disabotase oleh AS dengan mendesak Presiden Alija Izetbegovic untuk mendeklarasikan kemerdekaan dengan dasar ‘referendum 1 Maret.’ Jose Cutileiro, sekjen Uni Eropa mengkonfirmasi bahwa ‘Presiden Alija Izethbegovic dan pembantunya memang telah disokong untuk menolak usaha perdamaian dan berjuang untuk untuk menyatukan Bosnia oleh diplomat Barat.” Inilah pemicu perang sipil Bosnia.
Kini, tidak kurang dari 11 ribu pasukan ditempatkan di Bosnia, Kosovo, dan Macedonia untuk menjaga perdamaian. Namun lebih dari itu, untuk menjaga kepentingan AS. Bekas wakil rakyat AS, Lee Hamilton berkomentar pada harian New York Times bahwa ‘kita telah mengontrol sepenuhnya daerah semenanjung Balkan. Pejabat AS telah mengambil alih kegiatan kenegaraan di wilayah bekas Yugoslavia. Kita berperan lebih dari sekedar diplomat.” Karen Talbot, ahli geopolitik mengkonfirmasi bahwa ‘kerja keras AS dan NATO untuk menduduki Kosovo dan praktisnya keseluruhan Yugoslavia dipicu oleh kekayaan sumber daya alam. Kosovo sendiri kaya dengan aneka tambang di belahan eropa bagian barat Rusia. Menurut New York Times, ‘daerah pertambangan Trepca, daerah terkaya di semenanjung Balkan, bernilai kurang lebih 5 bilyun dolar. Daerah tersebut kaya dengan emas, perak, timbal, zinc, kadmium yang menghasilkan keuntungan sebesar jutaan dolar per tahunnya.” Kosovo juga memiliki 17 bilyun ton cadangan batubara dan minyak bumi [3]. Presiden Clinton, secara tidak sengaja, kelepasan berbicara,’klaau kita ingin posisi ekonomi yang kuat di dunia, Eropa adalah kuncinya, dan ini terletak di Kosovo sebagai sumber utamanya.” [4].
Sejak berakhirnya pemboman, banyak sekali pangkalan militer AS di Balkan. Salah satunya terletak di Kosovo, yang diperkirakan sebagai terbesar sejak Perang Vietnam. Dominasi AS pada NATO berarti intervensi NATO di Balkan, yang akhirnya memperkuat pengaruh AS di wilayah tersebut. Bocoran dokumen Pentagon masa 1994-1999 menunjukkan laporan Rencana Pertahanan yang menyarankan agar AS ‘harus mencari jalan untuk menghalangi bangkitnya Eropa (pendirian pakta pertahanan yang hanya terdiri dari negeri2 eropa saja tanpa keanggotaan AS), yang bisa menihilkan peran NATO… Maka sangat penting untuk mempertahankan eksistensi NATO sebagai satu-satunya sistem pertahanan dan keamanan di Eropa, dan juga berfungsi sebagai alat AS untuk memberikan pengaruh dan partisipasi dalam mencampuri urusan internal keamanan Eropa.”
Ini semua menunjukkan bahwa ancaman pengaruh Rusia, adanya cadangan minyak di laut Kaspia, dan revitalisasi NATO (untuk mempertahankan pengaruh AS) adalah tujuan-tujuan sebenarnya dari kebijakan geopolitik AS dan intervensi Barat umumnya. Bahwa ribuan jiwa harus melayang demi tercapainya tujuan tersebut adalah harga yang AS tidak akan pernah ragu untuk membayarnya demi kelanggengan dominasinya di Eropa.

3. Dunia akan segera kehabisan minyak
Persaingan untuk meraih supremasi kekuasaan antara Jerman dan Inggris pada awal abad ke 20 memaksa kedua negara tersebut berlomba mencari bahan bakar pengganti batu bara untuk menjalankan mesin perang. Ditemukannya ladang minyak di Timur Tengah di tahun 1920an memicu berawalnya abad teknologi baru, perubahan tatanan masyarakat dan berpindahnya keseimbangan kekuatan global.
Pada akhirnya, bahan baker berbasis fosil akan habis. Hingga berakhirnya abad ke 20, kemungkinan habisnya minyak belum dibahas karena masih banyak cadangan minyak yang belum ditemukan. Teknologi untuk menyalakan pesawat tempur, tank, dan mobil masih dirancang untuk menggunakan bahan bakar fosil, terlepas dari tingginya harga minyak.
Puncak produksi minyak terjadi ditahun 1970an dimana separuh dari cadangan minyak yang ada telah terkonsumsi. Namun kenyataan ini tidak begitu diindahkan pada masa tahun 1970an. Kini, semua dunia khawatir bahwa minyak akan segera habis, suatu fakta sumber kepusingan geopolitik. Tanpa syak lagi, isu habisnya minyak bumi sebenarnya adalah penanda isu politik yang jauh lebih dalam.
Bahwa dunia akan segera kehabisan minyak adalah alasan Barat untuk menutupi kerakusannya. Ketika beberapa negara mulai panik mencari minyak, maka terbukalah borok barat dalam hal konsumsi minyak ini. Dunia Barat telah mengkonsumsi 50% dari sumber daya alam terpenting abad ke 21, tapi hanya memproduksi kurang dari 25% saja. Kerakusan Barat ini jauh melampaui kebutuhan Cina dan India terhadap energi. Khususnya, AS hanya memproduksi 8% minyak, namun mengkonsumsi 25% jumlah minyak yang ada.
Ketika konsumsi AS meningkat, maka kompetisi untuk meperebutkan sumber energi akan semakin ketat. Ini yang menyebabkan tanah dunia Islam semakin penting, terutama Iraq, untuk diduduki demi minyak.

4. Dunia Ketiga menjadi miskin karena tidak cukupnya jumlah pangan di dunia
Banyk sekali organisasi yang telah meneliti sebab musabab kemelaratan seperti kurangnya sumber daya alam, efek cuaca lokal, hingga kurangnya penerapan demokrasi. Prinsipnya tidak ada semacam persetujuan dikalangan ahli sosiologi dan lembaga penelitian mengenai penyebab utama kemiskinan dan kemelaratan. Anehnya, semua sepakat, bahwa jalan keluarnya adalah penerapan kapitalisme dan adanya pasar bebas. Padahal kalau saja kita lihat secara umum situasi negara dunia ketiga, umumnya, dan negara dunia islam, khususnya, beberapa faktor berikut adalah penyebab utama pemiskinan yang ada sekarang.
Fungsi IMF dan Bank Dunia dengan kebijakan perubahan strukturalnya yang terkenal telah menyengsarakan negeri klien seperti Pakistan, Turki, Indonesia, Bangladesh dan Mesir. Solusi yang diberikan lembaga keuangan internasional tersebut awalnya diperkirakan akan menyelamatkan negara-negara tersebut adalah dengan metoda perdagangan. Kenyataannya banyak sekali kendala yang dipasang oleh negara-negara maju supaya negara-negara berkembang tidak akan pernah bisa berkembang. Artinya, barang-barang yang diproduksi negara-negara maju harus diimpor oleh negara miskin. Memang teorinya sederhana, bahwa perdagangan akan meningkatkan kesejahteraan negara miskin. Itu sebabnya sektor swasta dilihat sebagai kunci pemicu pertumbuhan ekonomi dan penghilangan kemiskinan.
Contohnya, Pakistan membutuhkan investasi di bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur sebelum ia mampu berkompetisi secara global. Namun, IMF dan Bank Dunia justru menyuruh pemerintah Pakistan untuk mengurangi subsidi di bidang-bidang diatas dan meningkatkan fokus ke arah ekspor. Kedua lembaga keuangan tersebut menyuruh Pakistan untuk berkompetisi melawan sektor swasta internasional yang jauh lebih kuat. Itu sebabnya, pertumbuhan ekonomi Pakistan malah semakin terpuruk.
Afrika juga dipaksa untuk untuk membayar hutang, sebagaimana terjadi semasa kolonial dulu. Hutang Afrika terjadi secara semena-mena dengan pemberian hutang bilyunan dolar dengan bunga yang sangat tinggi. Hutang Afrika juga termasuk hutang yang diberikan negara maju semasa pemerintahan diktator, dimana dana pinjaman itu dihamburkan dengan sepengetahuan negara-negara donor/pemberi hutang. Afrika Selatan, contohnya, mewarisi hutang semasa apartheid sekitar 46 bilyun dolar. Pemerintahan baru Afrika Selatan yang berkuasa setelah Apartheid berakhir, dipaksa untuk membayar hutang masa lalunya (atau hutang yang digunakan untuk membiayai penindasannya sendiri). Di tahun 1998 ACTSA (Gerakan Afrika Selatan) memperkirakan bahwa hutang sebesar 18 bilyun dolar digunakan untuk membiayai kebijakan apartheid dan 28 bilyun dolar adalah hutang yang ditanggung negara-negara tetangga afrika selatan untuk membiayai program untuk menghadapi destabilisasi atau imbas dari kebijakan apartheid, dimana berkisar sekitar 74% dari total hutang Afrika.
Situasi dunia Islam berasal dari penjajahan dan direkam dengan baik oleh David Fromkin, Profesor ahli Sejarah Ekonomi di Universitas Chicago. Ia bertutur,”Kekayaan luarbiasa dari Khilafah Uthmaniy telah dikuasai oleh pemenang perang. Namun orang tidak boleh lupa, bahwa kekhilafahan islam telah berusaha selama berabad-abad untuk menguasai Eropa Kristen. Maka tidak heran, apabila para pemenang perang akan memastikan agar khilafah tidak bisa terorganisir kembali, apalagi bangkit untuk mengancam Eropa kembali. Dengan pengalaman merkantilis yang lama, Inggris dan Perancis menciptakan negara-negara yang tidak akan pernah stabil dimana para penguasanya akan selalu tergantung dari negara lain supaya bisa tetap berkuasa. Maka pembangunan di negara-negara ciptaan kolonial akan selalu dimonitor dan dipastikan agar tidak mampu menjadi ancaman bagi Barat lagi. Kekuatan asing pun membuat kontrak dengan para penguasa boneka untuk menghisap kekayaan alam negara mereka, hingga keluarga raja menjadi semakin kaya sedangkan rakyatnya justru semakin terlantar.” [5].
Negara berkembang akan selalu menjadi miskin akibat kebijakan negara Barat. Jelasnya, bukan karena kekurangan pangan tetapi justru oleh konsumsi yang berlebihan oleh masyarakat Barat (yaitu sekitar 20% dari populasi dunia), namun menghabiskan 80% dari produksi pangan.

5. PBB menegakkan hukum internasional untuk mengatur hubungan dan menyelesaikan konflik internasional
PBB didirikan ditahun 1945 untuk ‘menyelamatkan generasi berikut dari derita peperangan.” Sejak itu, tidak kurang 250 konflik tercetus yang membuktikan kegagalan PBB dalam meraih tujuan didirikannya. Barat, dan juga para pembuat kebijakan dunia ketiga, melihat PBB sebagai institusi netral (tidak bias) yang terdiri dari 200 negara anggota, yang menjunjung tinggi nilai internasional, aksi multilateral, demokrasi, pluralisme, sekularisme, kompromi, dan hak asasi manusia.
Padahal, PBB sebenarnya adalah alat eksploitasi yang terlihat dari struktur organisasinya yang membiarkan penindasan yang dilakukan oleh kekuatan kolonial yang kini menjadi anggota tetap Dewan Keamanannya. Banyak peristiwa yang menunjukkan kelemahan PBB, seperti invasi Irak, penerapan hukum secara selektif pada Israel, kegagalan pembantaian muslim di Sebrenica, dan pembersihan etnis di Rwanda.
Pada dasarnya, PBB adalah organisasi internasional dimana 5 anggota tetap Dewan Keamanan telah menggunakan PBB sebagai alat kebijakan luarnegeri mereka. Bahkan apa yang disebut Hukum Internasional sebenarnya tidak pernah ada. Yang ada hanyalah etika internasional. Kalaupun hukum internasional harus ada, ia memerlukan perangkat penegak hukum yang bersifat global atau supernasional. Karena kita tahu bahwa perangkat ini juga tidak ada, maka bisa dilihat bahwa hukum internasional baru digembar-gemborkan oleh negara-negara tertentu ketika sesuai dengan kepentingan masing-masing (neo-realisme) (cf. Waltz. K. 1979. ‘A Theory of International Politics’).

6. Dunia ketiga harus meliberalisasi ekonominya supaya berkembang
Dalam tiga abad terakhir, Kapitalisme telah mendominasi pembangunan internasional dan memonopoli perkembangan ekonomi serta memaksa diterapkannya kebijakan-kebijakannya pada dunia. Macan ekonomi Asia seperti Cina, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hongkong sering dikutip sebagai contoh sukses negara yang mengadopsi liberalisme sehingga berhasil meraih kemajuan. IMF dan Bank Dunia memproklamirkan industrialisasi dan ide ekonomi liberal akan mentransformasi ekonomi tradisional dan masyarakat. Pengaruh seperti ini akan menetapkan negara-negara miskin dalam jalur perkembangan sejalan dengan pengalaman negara-negara maju semasa revolusi industri dulu.
Kemiskinan adalah fakta yang ada pada mayoritas penduduk dunia. 3 bilyun jiwa hidup dibawah 2 dolar per hari, sedangkan 1,3 bilyun jiwa lainnya hidup kurang dari 1 dolar per hari. 1,3 bilyun jiwa hidup tanpa air bersih, 3 bilyun jiwa hidup di lingkungan yang tidak sehat dan 2 bilyun jiwa tidak memiliki akses penggunaan listrik. Liberalisme justru menjadi sebab ketimpangan kesejahteraan dan pemiskinan bagi mayoritas penduduk dunia. Banyak sekali survei yang menunjukkan bahwa liberalisme adalah biang kemelaratan. Tanggal 7 Desember 2006 adalah hari diluncurkannya laporan internasional yang dikeluarkan oleh Institut Global untuk Penelitian Perkembangan Ekonomi milik PBB. Hasilnya cukup mencengangkan bahwa penduduk dunia yang kaya (sekitar 1% dari total penduduk bumi) menguasai 40% dari asset kekayaan dunia dan 10% dari populasi dunia menguasai 85% dari total asset dunia [6].
Liberalisme telah dan akan terus membiarkan dunia barat untuk menghisap kekayaan dunia ini. Liberalisme juga tidak akan pernah berpihak pada dan menaikkan derajat kaum miskin, dan justru menjadi alat pemiskinan. Maka penerusan kebijakan ekonomi liberal di dunia ketiga adalah biang kemelaratan yang berkelanjutan.

7. Pemanasan global akibat pembangunan Cina dan India
Pemanasan global dan perubahan cuaca berarti penambahan suhu rata-rata secara global.
Global warming and climate change refer to an increase in average global temperatures. Kejadian alam dan aktifitas manusia diduga sebagai kontributor perubahan suhu secara global. Hal ini terjadi karena adanya “efek rumah kaca” dimana naiknya suhu diakibatkan terperangkapnya jenis gas di atmosfir tertentu seperti karbon dioksida (CO2).
Setiap beberapa tahun, ilmuwan bidang cuaca pada Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Suhu (IPCC) milik PBB mengeluarkan laporan yang menjelaskan secara detil perubahan cuaca yang terjadi. Secara garis besar, laporan ini menyarankan adanya penurunan emisi. Panel ini terdiri dari ratusan peneliti dunia. Di awal tahun 2007, IPCC telah mengeluarkan laporan ke 4 yang menyimpulkan bahwa mereka semakin yakin bahwa aktifitas manusia adalah penyebab kenaikan suhu “Pemahaman tentang pemanasan dan penurunan suhu mulai lebih baik sejak laporan Third Assessment Report (Evaluasi Ke3), yang memberikan keyakinan bahwa aktifitas manusia sejak taun 1750 memberikan efek perubahan cuaca yang cenderung memanas.” Definisi tentang ‘keyakinan’ merujuk ke tingkat kepastian hingga 90% tepat (di tahun 2001, baru 66% tepat).
Dari segi sejarah emisi, negara-negara industrialis berkontribusi terhadap 80% dari total terperangkapnya CO2 di atmosfir. Sejak tahun 1950, AS telah mengeluarkan emisi sebesar 50,7 bilyun ton karbon, sementara Cina (yang penduduknya 4,6 kali lebih banyak dibanding AS) dan India (yang populasinya 3,5 kali lebih banyak) mengeluarkan hanya sekitar 15,7 dan 4,2 bilyun ton, secara berurut. Tiap tahun lebih dari 60% emisi industri global berasal dari negara-negara industri, dimana hanya memiliki 20% populasi penduduk dunia.
Mayoritas pertumbuhan emisi di dunia maju berasal dari pesatnya industralisasi sejak era revolusi industri. AS dengan ekonomi senilai 14 trilyun dolar adalah sumber polusi terbesar dan selalu mengelak untuk turut serta dalam perjanjian penurunan emisi global. Pengurangan emisi bagi dunia Barat adalah pengurangan produksi yang bisa menghancurkan industri mereka. Pengurangan konsumsi bagi dunia barat ibarat praktik syirik bagi umat Islam. Demikian pula, tingkat konsumsi bahan bakar fosil di dunia maju jauh lebih besar ketimbang negara berkembang. Berkurangnya sumber daya alam tidak terbarukan adalah akibat konsumsi AS yang besarnya 5 kali lipat dari semua negara-negara lainnnya.
Pemanasan global adalah akibat industralisasi dunia Barat yang hanya terpaku pada kenaikan untung. Meskipun sudah ada teknologi yang mengarah kepada emisi yang bersih, harganya masih mahal dan tidak laku dijual. Cina dan India baru tumbuh dalam 20 tahun terakhir dan pemanasan global sudah terjadi sebelumnya. AS yang getol mengkambinghitamkan Cina dan India adalah usahanya untuk meredam laju pertumbuhan kedua negara tersebut.

8. Umat Muslim dunia tidak menginginkan Islam
Selama bertahun-tahun, Barat selalu mengatakan bahwa muslim di seluruh dunia menginginkan demokrasi dan kebebasan ketimbang Islam. Mereka juga mengatakan bahwa hanya kaum minoritas muslim saja seperti di Pakistan dan Afganistan yang menginginkan Islam sedangkan mayoritas umat Islam mengagumi dunia barat dan ingin hidup dibawah naungan kapitalisme. Namun kini, adalah kaum muslim modernis yang menyatakan bahwa dunia muslim tidak ingin Islam dan tidak akan pernah siap untuk Islam. Ironisnya, Barat malah mulai menyadari bahwa ternyata islamlah yang dirindukan oleh umat muslim dan Barat berjuang keras untuk menghadapi setiap kemungkinan ancaman kebangkitan Islam.
Dewan intelijen nasional (NIC) AS telah merilis laporan Global Proyek 2020 yang bertema ‘Pemetaan Masa Depan Global.’ NIC adalah masyarakat intelijen AS yang berfungsi sebagai pusat penelitian strategis jangka menengah dan panjang, diantaranya membuat skenario yang akan dihadapi dunia pada tahun 2020. Laporan mereka menyimpulkan bahwa daya tarik Islam saat ini adalah seruan untuk kembali ke sumber keaslian islam yang telah melahirkan peradaban islam di masa lalu dan yang akan membawa perubahan substansial di masa datang dibawah kepemimpinan umum Khilafah Islamiyah. Laporan ini juga menggambarkan skenario fiktif bagaimana pergerakan global yang dimotori oleh ‘identitas radikal keagamaan akan bangkit’ [7]. Lebih jauh lagi, pemerintahan AS telah menyiapkan perencanaan yang matang untuk menghadapi Khilafah di masa mendatang. Banyak lagi laporan dari lembaga lain dari AS sendiri yang mengakui bahwa pergerakan ideologis untuk mengembalikan Khilafah memiliki simpatisan yang mengakar secara global.
CIA juga sudah membangkitkan program intel semasa perang dingin lalu untuk mulai membidik media muslim, ulama, dan partai politik Islam. CIA juga menerima dukungan dana, sumber daya manusia dan asset lainnya secara eksponensial untuk mempengaruhi masyarakat muslim di seluruh dunia.
Di saat yang sama, banyak survey, laporan penelitian dan pengakuan pembuat kebijakan bahwa muslim secara global telah menolak nilai Barat. Ini artinya suatu kegagalan kolosal padahal Barat saat ini berada dalam posisi sebagai penguasa adidaya tunggal. Maka perang untuk memikat hati dan pikiran serta penguasaan wilayah negeri muslim adalah usaha-usaha mati-matian untuk menghambat bangkitnya sistem pemerintahan alternatif (yaitu khilafah). Lebih jauh lagi, ini menunjukkan umat Islam mungkin tidak lama lagi akan meraih cita-citanya untuk kembali kepada Islam.

9. Israel tidak pernah terkalahkan dan terbukti dengan kemenangannya di 4 perang, maka dunia islam harus menerima kenyataan ini bahwa keberadaan israel adalah suatu keniscayaan.
Sejak berdiri di tahun 1948, Israel dan militernya selalu diliputi mitos sebagai kekuatan yang tak terkalahkan. Menariknya, mitos tersebut tidak dimotori oleh Israel sendiri tapi justru oleh para pemimpin pengkhianat yang menguasai umat Islam.
Kinerja militer Israel pada perang 1948, 1956, 1967, dan 1973 melawan umat Islam sering dikutip sebagai superioritas militer Israel. Implikasinya, konflik melawan Israel secara langsung sering dianggap oleh negara-negara Arab sebagai strategi yang tidak menguntungkan, sehingga mereka terpaksa untuk bernegosiasi dengan Israel. Konsekuensi dari negosiasi tentunya adalah pengakuan terhadap kedaulatan dan keberadaan Israel melalui proses perdamaian. Dalam merangkum fakta kekuatan militer Israel, kita perlu mengingat pertanyaan penting: Apa tujuan pembuatan dan penyebaran mitos ini?

Perang 1948- Pendirian Israel
Perang 1948 berujung pada pendirian negara Israel. Secara sekilas, sulit dipahami bagaimana mungkin 40 juta penduduk Arab tidak mampu menundukkan 600,000 orang Yahudi. Studi mendalam menunjukkan bahwa pembelaan terhadap nasib palestina justru melahirkan pendirian Israel itu sendiri.
Pembelaan terhadap Palestina diwakili terutama oleh Raja Abdullah dari Yordania Raya, Raja Farook dari Mesir, dan Mufti Palestina, dimana semuanya adalah penguasa muslim yang lemah dan dimanipulasi oleh Inggris. Raja Abdullah yang dipandang sebagai pembela rakyat Palestina, sejatinya adalah kebohongan. Telah diketahui bahwa dia dan Ben Gurion (Perdana Menteri Israel Pertama) adalah sesama teman semasa belajar di Istanbul dan dalam pertemuan rahasia, Abdullah (yang kemudian menjadi penguasa Yordania) telah mengakui keberadaan Israel dan mendapat imbalan untuk menguasai wilayah yang dihuni mayoritas bangsa Arab Palestina.
Abdullah memiliki Legiun Arab, suatu unit militer yang terdiri dari 4500 prajurit terlatih yang dipimpin oleh perwira Inggris bernama Jendral John Glubb. Dalam biografinya, Glubb mengatakan bahwa dia diperintah secara tegas untuk tidak memasuki daerah yang dikontrol oleh Yahudi. Mesir juga justru memperlemah serangan terhadap Israel ketika Nakrashi Pasha, perdana menteri Mesir justru mengirim tentara relawan yang baru saja diorganisir di bulan Januari pada tahun itu. Yordania juga memperlambat kedatangan pasukan Irak yang memasuki wilayahnya sehingga serangan terhadap Israel pun dimentahkan. Ini sebabnya ketika seorang Ulama yang buta matanya dihadirkan untuk mengangkat semangat Legiun Arab, Ulama tersebut mempermalukan Raja Abdullah ketika sang ulama berkata,’ Wahai Tentara! Andai saja kalian adalah Tentara Kami!” (ini menunjukkan bahwa tentara Legiun Arab sebenarnya tidak lain adalah tentara Inggris).
Meskipun satuan tempur Muslim berjumlah 40 ribu serdadu, hanya 10 ribu saja yang terlatih baik. Sementara itu kekuatan Zionis Israel terdiri dari 30 ribu tentara, dimana 10 ribu orang untuk pertahanan lokal dan 25 ribu lainnya untuk penjagaan wilayah. Disamping itu sekitar 3000 teroris Irgun dan Stern memiliki senjata lengkap dari AS dan Inggris. Meski tentara Israel memang terlatih, pengkhianatan penguasa muslimlah yang justru memastikan kemenangan Yahudi di Palestina.

Krisis Kanal Suez tahun 1956
Konflik ini sebenarnya bukan bertujuan untuk membebaskan palestina namun adalah konflik antara Inggris melawan AS untuk mengontrol kanal Suez.
AS melihat Mesir sebagai sekutu strategis demi menancapkan pengaruh di Timur Tengah. Dengan CIA, AS mengatur penjatuhan rezim Pro Inggris Raja Farook pada tahun 1952 dengan menaikkan perwira militer yang dipimpin oleh Jamal Abdul Nasser. CIA melakukan proyek yang dikenal sebagai proyek ‘Mencari Muslim ala Billy Graham’ di tahun 1951. Mike Copeland, intel CIA merilis informasi rahasia di biografinya pada tahun 1989 yang berjudul The Game Player yang menceritakan kisah sukses CIA dalam mengkudeta boneka Inggris raja Farook. Copeland yang merancang kudeta ini mengatakan bahwa ‘CIA membutuhkan figur yang kharismatik yang bisa mengendalikan dan membelokkan sentimen anti Amerika yang tengah menggunung saat itu.’ Dia juga menjelaskan bahwa CIA dan Nasser berada dalam perjanjian dengan Israel. Bagi Nasser, seruan perang terhadap Israel tidaklah penting. Prioritas Nasser adalah menghentikan penguasaan Inggris terhadap zone kanal Suez. Musuh Nasser adalah Inggris, bukan Israel.
Di tahun 1956, Nasser menjalankan perintah Amerika untuk menasionalisasi Kanal Suez. Sebagai jawabannya, Inggris menarik Perancis dan Israel untuk terlibat. Ini terlihat dari ungkapan sejarawan Corelli Barnett dalam bukunya ‘Jatuhnya Kekuasaan Inggris’ , yaitu ‘Perancis memusuhi Nasser karena Mesir membantu pemberontak Aljazair dan memiliki keterikatan emosi dengan kanal Suez. Bukankah sejatinya adalah Perancis yang membangun kanal Suez. Israel juga memiliki kepentingan melawan Nasser karena Fedayeen Palestina yang menyerang Israel dan juga blokade Mesir terhadap selat Tiran.’ Maka Sir Anthony Eden (Perdana Menteri Inggris) membuat rencana rahasia bersama Perancis dan Israel [8]. Barnett mengatakan bahwa konflik dipicu ketika ‘Israel akan menyerang Mesir dari semenanjung Sinai.’ Setelah itu ‘Inggris dan Perancis akan memberikan ultimatum bagi semua pihak untuk menghentikan perang atau mereka akan terjun dan terlibat demi melindungi Kanal Suez.’ [9]
AS dan Rusia lalu melakukan tekanan diplomatik terhadap Inggris untuk mundur. Rusia secara langsung mengancam Paris dan London dengan serangan nuklir. Tekanan internasional yang luarbiasa ini memaksa Inggris dan Perancis untuk meninggalkan Mesir. Pemerintahan AS dibawah Eisenhower juga mengancam Israel dengan sangsi ekonomi apabila Israel tidak mundur dari wilayah Mesir yang ia duduki, suatu hal yang akan sangat merugikan Israel kalau ancaman ini tidak diindahkan. Akhirnya, pemenang dari konflik ini tidak lain adalah AS yang akhirnya berhasil mendominasi percaturan politik timur tengah.

Perang 6-Hari 1967
Ini adalah perang yang mewakili babak baru konflik antara Inggris dan Amerika dalam persaingan untuk mengontrol Timur Tengah. Meskipun Inggris telah kehilangan kuku di wilayah ini selama 11 tahun, ia masih memiliki pengaruh yang cukup penting terutama dengan anteknya di Yordania, Syria, dan Israel. Untuk melemahkan Nasser, Inggris berusaha menarik Israel dan menyeret Mesir kedalam perang dimana Israel akan menguasai wilayah yang bisa dipakai sebagai negosiasi dalam pertukaran tanah demi perjanjian damai. Pada tanggal 5 juni 1967, Israel melakukan penyerangan mendadak yang menghancurkan 60% angkatan udara Mesir dan 66% pesawat tempur milik Syria dan Yordania.
Dari sisi Yordania, Isael berhasil menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Raja Hussein, sebelum perang dimulai, telah memposisikan satuan tempurnya di wilayah yang jauh dari wilayah pertempuran. Dalam waktu 48 jam, Israel telah menguasai kota-kota di Tepi Barat dan sebagian besar serdadu Yordania yang tewas ditembaki Israel, berada dalam posisi mengundurkan diri. Disamping itu, Israel juga menguasai dataran tinggi Golan di hari ke 6. Anehnya, saat berita jatuhnya dataran Golan ke tangan Israel dikeluarkan oleh radio Syria, pasukan Syria justru jelas-jelas masih menguasai dataran Golan! Israel juga menghantam boneka AS yaitu Nasser dengan menguasai Sharm al Sheikh dan jalur perairan selat Tiran. Tujuan untuk melemahkan Nasser telah tercapai sehingga membantu kepentingan Inggris. Israel berhasil menguasai daerah tambahan dan bisa menggunakannya sebagai asset untuk tawar menawar di meja perundingan, dimana status penguasaan tanah pada tahun 1967 selalu diangkat ketimbang status pada tahun 1948.
used as a basis for negotiations rather then the status of 1948.

Perang 1973: Pengkhianatan oleh Para Penguasa Muslim
Perang dadakan yang dicetuskan oleh Mesir dan Syria pada Oktober 1973 melawan Israel menunjukkan bahwa perang tersebut memiliki tujuan tertentu dan tidak berhubungan untuk membebaskan Palestina, bahkan bukan juga untuk membebaskan dataran tinggi Golan (yang sebenarnya ditujukan sebagai alat perdamaian antara Syria dan Israel). Tujuan perang 1973 adalah untuk memperkuat posisi Anwar Sadat dan Hafez al Assad, sebagai para pemimpin yang relatif baru di masanya yang rawan untuk dikudeta secara militer. Khususnya Sadat, ia berada dalam tekanan untuk menggantikan pemimpin kharismatik Nasser.
Mohammed Heikal, editor Al Ahram dari 1957 - 1974, yang menyaksikan perang, mengungkapkan motif Anwar Sadat dalam bukunya ‘Jalan menuju Ramadhan’ dimana ia mengutip perasaan Sadat hingga tercetusnya perang. Heikal menulis bahwa Mohammed Fowzi, salah satu Jendral Mesir, mengatakan dengan beranologi duel Samurai bahwa Mesir terjun ke dalam perang dengan menggunakan –secara sengaja—pedang yang pendek. Artinya, Mesir memang memiliki tujuan atau motif tertentu dengan melakukan perang secara terbatas.
Anwar Sadat memang tidak pernah berniat untuk berperang melawan Israel terlalu lama. Itu sebabnya, ia justru mencari perdamaian dengan Israel ketika pasukan Mesir berada di atas angin dalam pertempuran. Dalam 24 jam pertama, pasukan tempur Mesir menghajar benteng Bar-Lev, yang digembar-gemborkan sebagai pertahanan solid, dengan jumlah korban hanya 68 prajurit. Sementara itu 2 divisi Syria dan 500 tank menyapu dataran tinggi Golan dan merebut kembali wilayah yang dikuasai Israel pada tahun 1967. Dalam dua hari, Israel kehilangan 48 pesawat termpur dan 500 tank. Di tengah peperangan, Sadat mengirim pesan pada presiden AS bahwa tujuan perang ini adalah ‘perdamaian di Timur Tengah dan bukan perjanjian setengah-setengah.’ Lebih jauh lagi, kalau Israel bersedia melepaskan wilayah Mesir yang mereka duduki, maka Mesir akan melakukan perjanjian damai dibawah PBB atau pihak yang netral.
Maka meskipun, Sadat memiliki posisi diatas angin, ia justru ingin bernegosiasi. Penolakan Sadat untuk terus melanjutkan pertempuran dan meneruskan gelombang penyerangan terhadap Sinai, ternyata memberik kesempatan pada Israel untuk memobilisir kekuatan dan merebut kembali wilayahnya dengan bantuan AS. Konflik berakhir 25 Oktober setelah Israel melanggar perjanjian gencatan senjata sebelumnya.
Semua perang melawan Israel menunjukkan bahwa penguasa Muslim tidak pernah serius melawan Israel dan tidak pernah bertujuan untuk membebaskan Palestina. Kemenangan Israel sebenarnya adalah mitos yang dipromosikan untuk melemahkan semangat umat Islam. Pengkhianatan sebenarnya dilakukan oleh para penguasa muslim yang berkolaborasi untuk membangun dan menyebarkan mitos keunggulan Israel. Perang di dunia Arab menunjukkan bahwa negeri-negeri muslim tidak pernah disatukan dalam peperangan dalam satu tujuan: menghancurkan Israel. Sebaliknya, setiap peperangan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, kecuali pembebasan Palestina dan penghapusan Israel. Maka tujuan dalam mengancam Israel bukanlah tujuan hakiki, meskipun sebenarnya pasukan Arab memiliki potensi yang luarbiasa.

Kesimpulan
Sejarah selalu ditulis oleh para pemenang, dan ini juga terjadi pada geopolitik. Banyak sekali mitos yang ada termasuk sebab-sebab terjadinya perang dunia I dan II, dimana bertujuan untuk membodohi penduduk di Barat itu sendiri. Superioritas militer AS pun tumbang di perang Iraq dan Afganistan, demikian pula dipermalukannya Israel oleh Hizbullah pada perang Lebanon tahun 2006. Muslim harus selalu waspada bahwa meskipun situasi umat secara global nampak sangat buruk, banyak dari gambaran-gambaran pesimis sebenarnya bisa berubah dengan mudah.(Rusydan; www.Khilafah.com)
[1] “The ins and outs: The EU’s most effective foreign-policy instrument has been enlargement. But how far can it go?” The Economist, March 2007, http://www.economist.com/research/articlesBySubject/displaystory.cfm?subjectid=682266&story_id=8808134
[2] US Ambassador Warren Zimmerman dalam wawacara dengan Croatian daily Danas, 12 January 1992, dipublikasi ulang di at http://www.emperors-clothes.com/interviews/nothing.htm
[3] Karen Talbot ‘Backing up Globalization with Military Might’ New World Order Onslaught, Covert Action Quarterly, Issue 68, Fall 1999, diakses 22nd May 2008, http://www.globalissues.org/Geopolitics/Articles/Backing.asp
[4] Benjamin Schwarz & Christopher Layne ‘The Case Against Intervention in Kosovo,’ the nation, 19th April 1999, diakses 22nd May 2008, http://www.thenation.com/doc/19990419/schwarz/single
[5] Fromkin D, A Peace to End All Peace, p 45, New York: Avon Books, 1989
[6] www.iariw.org/papers/2006/davies.pdf
[7] National Intelligence Estimate, December 2004, Report of the National Intelligence Councils 2020 project, ‘Mapping the Global Future,’ Pg 83-92, diakses 26th October 2007, http://www.foia.cia.gov/2020/2020.pdf
[8] Barnett C (1972) ‘The Collapse of British Power,’ Macmillan, ISBN 0333679822, dan juga Paul Reynolds, ‘Suez: End of empire.’
[9] Barnett C (1972) ‘The Collapse of British Power,’ Macmillan, ISBN 0333679822

Tidak ada komentar:

Posting Komentar